Langsung ke konten utama

Malu


Manusia dasar pelupa. Begitulah diriku.

Sering kali kita hanya memberikan yang terbaik, hanya kepada orang-orang yang ‘kurang tepat’, kepada mereka yang baru saja dikenal, kepada mereka yang bahkan asing sama sekali. Bersikap sopan santun karena takut untuk dijauhi, berbicara lemah lembut karena takut dipecat. Sisi lain, bisa sekali kita bersikap keras dan berkata kasar kepada kedua orang tua kita. Pertanyaannya, bagaimana bisa? Bukankah mereka yang sedari dulu membesarkan kita? Bukankan dari dulu mereka yang meneteskan keringat jerih payahnya untuk kita? Lalu mengapa sikap dan tutur terbaikmu, kamu peruntukkan tidak kepada mereka? Malu.

Berikut saudara-saudaramu. Mereka yang telah membersamaimu dalam perjuangan hingga saat ini. Memberikan nasihat penguat saat kamu jatuh. Mendengarkan seksama segala keluhan darimu. Lalu pantaskah, pemberian cuma-cumamu hanya kamu peruntukkan kepada mereka yang tidak memberikan apa yang telah diberikan saudaramu untukmu? Kemana letak kesadaranmu? Malu.

Aku malu pada-Mu. Saat aku hanya menginginkan yang terbaik dari-Mu, tapi aku tidak pernah sama sekali merasa telah memberikan yang terbaik untuk-Mu. Sering kali hanya menjauh. Mengejar sesuatu yang Engkau ingatkan untuk diwaspadai. Melewatkan dengan mudahnya sunah-sunah ibadah untukmu. Padahal dosa ini terus bertambah. Kemana niat hati murni kamu peruntukkan? Bukankah seharusnya kepada-Nya yang memberikan apa yang kamu miliki selama ini? Malu.

Ya Allah... aku malu pada-Mu...
Ya Allah... ampuni aku….

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. 16:18)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...

Tanam dan Tuai

Apa yang kamu tanam, itulah yang kamu tuai.                           Pepatah tua telah mengajarkan kita akan pelajaran kehidupan.   Ibaratnya seorang petani yang menanam padi, tentu akan menuai padi pada akhirnya. Tidak mungkin menuai mangga, jambu ataupun yang lain. Kebaikan dan keburukan pun berlaku seperti itu.             Seorang pernah berujar, bahwa dunia ini tidak adil. Mengapa? Ia mengatakan, orang-orang baik, yang memiliki akhlak yang bagus, mulia dan terpuji justru tidak merasakan kebaikan yang ditanamnya. Ia berpandangan begitu dengan melihat orang-orang miskin di sekitarnya. Lantas dibandingkan dengan orang-orang kaya raya, justru merasakan kebaikan dunia ini dengan kemewahannya, padahal mereka sendiri memiliki akhlak yang buruk, eogis, lupa sholat, dan lainnya. Lalu? Bagaimana dengan konsep...

Harga Sebuah Senyuman

Selalu ada hal-hal kecil yang begitu berharga, namun tak ternilai dengan harta. *** Senyuman itu tak berbiaya. Tetapi manfaatnya luar biasa. Memperkaya yang menerima. Tak memiskikankan pemberinya. Saat ini, jadilah aku pekerja, mencari cara untuk meminta senyuman berharga. Teristimewa dari orang-orang sekitar. Menghapus lara serta duka yang melingkar. Menyingkirkan kusut yang memberingsut. Sirna lelah karena masalah. Favorit! Hal itu akan menjadi pekerjaan kesukaanku nantinya. Bagaimana berupaya untuk membuatnya tersenyum. Lepas. Bahagia. Cantik. Orang bilang sebagai senyuman, senyuman yang begitu menenangkan. Memberikan kehangatan meski lisan tak terucapkan. Kelak nanti dalam sejarah cerita, senyuman itu akan selalu mengingatkan, bahwa di baliknya ada perjuangan berharga yang tidak ternilaikan, ada perasaan suci yang berusaha dijaga murni, sebaik-baiknya, selama-lamanya. Senyuman itu. Kelak, harus kujaga. Setiap terangnya hingga gelapnya. Bangunnya dan juga tidu...