Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Sekolah Orang Baik

“Assalamualaikum. Aku pulang…”, teriak Aisyah saat memasuki rumah. “Waalaikumsalam. Sudah pulang to jagoan Ayah satu ini.”, kata Ayah sambil memeluk Aisyah. “Loh, kok mukanya cemberut gitu? Habis dimarahin Ibu ya?” “Bukan karena Ibu Yah. Aisyah sedih. Pagi tadi Aisyah dapat kabar kalau Pak Guru sedang dirawat di rumah sakit Yah.”, jawab gadis kecil itu. “Pak Guru opname Nak? Ayah baru tau.” “Ayah, kenapa sih orang seperti Pak Guru harus sakit? Padahal Pak Guru baik banget sama Aisyah Yah.” “Hmmh… emang iya? Kalo Ayah baik juga enggak sama Aisyah?”. Canda Ayah sambil mencubit pipi anaknya. “Yah Ayah… serius nih.”, gerutu Aisyah. “Aisyah kasian sama Pak Guru. Aisyah tahu kalau Pak Guru rajin sholat, rajin ngaji, suka bantu Aisyah kalau Aisyah sulit ngerjain Matematika. Apa Allah sedang tidur ya Yah?” “Wah, anak Ayah perhatian sama Pak Gurunya ya ternyata. Sini Nak, kemari duduk dulu. Ayah kasih tahu sesuatu.”, jawab Ayah sambal mengajak Aisyah untuk duduk di kursi.

Bertahan dalam Heterogenitas

Terdapat sebuah konsep sederhana mengenai diri kita dan lingkungan kita. Ketika kita berada di sebuah lingkungan, akan ada 2 pilihan yang mengikutinya : mewarnai atau terwarnai.  Mewarnai berarti kita memberikan pengaruh ke luar. Sedang terwarnai berarti kita dipengaruhi dunia luar. Sadar atau tidak, konsep seperti itu benarlah adanya. Hal itu sejalan dengan apa yang disabdakan Rasulullah dengan perumpamaan ketika kita berteman dengan pandai besi ataupun dengan penjual minyak wangi. “ Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap .” (HR. Bukhari dan Muslim) Satu hal yang dapat kita sepakati di sini ialah kit

Pemuda Subuh

“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” [HR. Bukhari] Tubuhnya terbaring. Merebah di atas kasur yang meluluhkan. Hening memang. Saat kendaraan belum terdengar di peraduan. Burung-burung pun belum banyak berkicauan. Sepi senyap. Lamat-lamat, dingin terus merambat. Sekat rumah masih tertutup. Menyimpan kehangatan dalam tutup. Pemuda itu kian surut dalam selimut. Berat memang. Ketika tubuh terpulaskan. Laksana kumbang di taman kembang. Sulit meninggalkan. Seakan mengisyaratkan bahwa malam masih panjang. Lihatlah! Tali-tali gaib itu masih mengikat. Si

Surat untuk Kakak

Aku ingat, saat aku sibuk bermain robot di teras rumah, tiba-tiba kakak menepuk dahiku. Kakak bilang kepadaku untuk tidak lupa bersedekah. Padahal kakak tau sendiri kan, kalau aku suka sekali mainan, apalagi robot-robotan. Jadi, uang jajanku mungkin sudah habis untuk membeli itu kak. Belum lagi jatah untuk jajan makanan, ya pastilah habis. Tapi kakak terus saja menasihatiku agar menyisihkan sebagian uang untuk disedekahkan. Aku tanya kenapa, kakak bilang, itu biar Allah cinta sama kita. Kakak bilang kepadaku, untuk tidak terlambat sholat. Kakak tau tentang kebiasaanku keluar rumah sore hari, bersama teman bermain bola di lapangan. Sebelum itu, aku tidak absen melihat kartun ninja di tivi. Sehingga, sampai-sampai setelah melihat tivi dan bermain bola, aku lupa untuk sholat. Kakak pernah mencubitku karena itu. Sakit sekali. Sungguh. Kakak bilang, itu semua biar aku sadar pentingnya sholat. Aku ingin balas cubit, tapi kakak bilang, “ Apa kamu gak mau.. Allah cinta sama kita ?”

Perpindahan : Dari & Ke

Hidup tak ayal  adalah mengenai  perpindahan. Ia bermula dari titik bernama ‘dari’ dan melekat padanya titik ‘ke’ . Dimensi perpindahan meliputi ruang dan waktu. Pada dimensi ruang, perpindahan akan menuntut untuk berganti ‘tempat’. Ilmu Fisika sudah menjelaskan bahwa perpindahan kita hanya akan menjadi tidak bernilai ketika ia bermula di titik ‘dari’ kemudian kembali ke titik itu juga. Pada dimensi waktu, perpindahan senantiasa berjalan. Dari waktu ke waktu dan dari detik ke detik. Terkadang perpindahan yang kita lakukan bisa berjalan begitu cepatnya, sehingga tidak perlu waktu yang lama untuk berpindah : titik ‘dari’ menuju titik ‘ke’ . Tetapi terkadang hal itu juga bisa berlangsung sekian lamanya. Begitulah kita manusia. Perpindahan dimensi ruang dan waktu akan membawa kita menjadi pribadi kita ‘dari’ dan ‘ke’ . Perpindahan tidak semuanya membawa perubahan yang baik. Karena hidup selalu menghadirkan pilihan-pilihan. Pilihan tersebut akan muncul pada titik

- Random -

Menulis itu menyenangkan. Percaya? Nyatanya seperti itu. Dengan menulis seperti ini misalnya, kita bisa mengungkapkan apa yang sedang kita rasakan, apa yang sedang kita pikirkan, yang sedang kita harapkan dan sebagainya. Lapar. Pusing. Lepas.                                Saat ini, ketika menulis tulisan ini, ketiga itu yang aku rasakan. Lapar karena hak lambung yang belum terpenuhi. Pusing karena lagi ngerjain tugas, laporan yang belum kelar, dan revisi yang tertunda (revisi yang tertunda adalah awal dari kesuksesan skripsi). Lepas karena bisa menumpahkan emosi di tulisan ini. Haha. Selamat! Anda yang membaca ini berarti Anda sedang membaca tulisan luapan emosi saya saat ini. Menulis itu seperti kita sedang memasuki dimensi ketiga atau dunia ketiga yang tidak terikat dengan apapun. Dengan menulis kita bisa menciptakan segala sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda denga biasanya, bahkan sesuatu semau kita, tanpa paksaan dan batasan. Di dunia yang ketiga, aku bertem

- Pujian Kepada Ibu -

“Apakah Ibu terlihat cantik, Nak?” *** Memoriku terlempar jauh pada peristiwa lampau. Ketika dirimu mencoba dengan susah payah untuk memakaikanku baju dan celana. Sementara aku dengan tidak berdosanya menghiraukan hal itu dan berlari kesana kemari. Kemudian, seperti biasa, saat engkau berhasil memakaikanku pakaian tersebut, kau katakan kepada orang-orang sekitar tentangku, “Anakku yang ganteng dan sholeh…” . Kemudian ketika usiaku beranjak dewasa. Saat fase-fase kritis menggoncangkan hidupku. Berbagai masalah datang seakan tidak memberi jeda. Hingga keputusasaan yang hampir terucap, kau katakan kepadaku, “Tidak Nak, kamu pasti bisa. Percayalah Nak, kamu hebat, dan kamu pasti bisa”. *** “Apakah Ibu terlihat cantik, Nak?” Kembali lagi kau tanyakan kepadaku pertanyaan itu. Aku terhentak. Apakah pernah selama ini aku memujimu? Selama ini, sekian tahun ini, hingga dirimu berbaring lemah tak bertenaga seperti saat ini? Apakah pernah aku memujimu? Aku terdiam. “Apak

Cerpen : Menanti Tulisanmu

Aku selalu menanti tulisanmu. Karena darimana lagi aku bisa tahu tentang apa yang sedang kamu pikirkan bila tidak dari sana. Kita tidak pernah bercakap-cakap tentang sesuatu yang dalam, hanya sebuah sapaan. Aku selalu menunggu tulisanmu. Karena darimana lagi aku bisa tahu tentang jalan pikiranmu, tentang masalah yang sedang kamu hadapi, atau tentang perasaan yang sedang kamu rasakan. Meski tulisan itu tidak sepenuhnya mewakili perasaan, setidaknya aku tahu perasaanmu masih hidup untuk nantinya aku cintai. Itu pun bila kamu mengijinkan. Aku selalu membaca tulisanmu. Dari halaman satu hingga halaman yang aku yakin akan terus bertambah. Karena darimana lagi aku bisa mengenalmu dengan leluasa bila tidak dari sana. Aku bahkan tidak kuasa menyebut namamu di hadapan temanmu. Aku harus menunggu sepi atau malam hari untuk bisa leluasa memandang layar dan membaca berulang-ulang setiap kata yang lahir dari pikiran dan hatimu. Aku menyukai cara jatuh cinta seperti ini. Tidak kamu tahu dan

Sederhana (saja)

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti burung yang berkicau saat pagi, begitu riangnya. Setiap orang punya masa lalu. Termasuk dirimu. Persis dengan hal yang orang-orang di sekitar kita perbincangkan mengenaimu. Mengenai masa lalumu. Namun, aku tidak peduli itu. Karena aku yakin, engkau akan berubah. Terlihat dari sikapmu saat ini kepadaku. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti hangatnya mentari yang menyambutmu di pagi hari. Aku tidak akan menuntutmu agar dirimu menjadi baik. Cukuplah menjadi dirimu sendiri saat ini. Karena di situlah, dengan kejujuranmu aku akan mencintaimu. Ketika memang engkau ingin merubah dirimu agar setidaknya dinilai lebih baik, maka lakukanlah itu dengan hatimu. Jangan berpura-pura, hanya karena ingin terlihat baik. Jadilah baik dengan hatimu. Tidak berpura-pura. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti bulan yang tidak menuntut mentari menemani di saat malam. Maka aku tidak akan memintamu untuk mencintaiku seperti

Cinta dan Pengorbanan

Melalui hari raya Idul Adha, semestinya kita bisa memetik sebuah pelajaran mengenai apa yang menjadi kisah di balik perayaan salah satu hari raya bagi kita sebagai umat Islam ini. Ialah kisah Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail yang dapat melahirkan satu peristiwa penuh dengan makna. Semua orang mestinya sudah tahu mengenai kisah tersebut. Mungkin ada yang mempertanyakan, mengapa ‘pengorbanan’ yang Allah perintahkan itu adalah Nabi Ismail, mengapa tidak yang lain. Mestinya kita paham akan makna dari ‘berkorban’, terlebih dalam urusan mencintai. Alasan mengapa Allah SWT. memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail, tidak dengan yang lain, adalah karena kecintaan Nabi Ibrahim terhadap anaknya itu sendiri. Saat itu, Nabi Ibrahim sangat menginginkan karunia seorang anak di keluarganya. Maka, dengan kehadiran Nabi Ismail atas karunia Allah, jangan kita pertanyakan seberapa kecintaan Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail. Kecintaan seorang bapak kepada anaknya inilah yang kemudian men

Renungkanlah!

Hei kamu... iya kamu. Tidak perlu berpura untuk tidak memperhatikan. Kamu yang seringkalinya menghiraukan Al Qur'an. Dengan dalih kesibukanmu perihal urusan duniawi ini, kamu membenarkan sikapmu yang seperti itu. Hei kamu... iya kamu. Tidak perlu berpura untuk tidak mengerti. Kamu yang sudah terlalu jauh dengan Al Qur'an, tanyakanlah pada dirimu sendiri. "Apakah hati ini telah terkunci?" Sekiranya seperti itu. Maka patutlah kamu merenung.

Pesan dari Saudara

Mungkin salah apabila kita menganggap orang-orang yang berjalan bersama kita dalam da'wah ini adalah mereka yang paling baik akhlak nya, Paling tsiqoh orangnya, Paling luas wawasannya, Paling baik kredibilitasnya, Mungkin keliru apabila berharap saudara2 kita akan terus berjalan beriringan dengan kita, Mungkin salah mengharapkan selalu ada yg bisa menguatkan pundak kita memegang amanah, Karena toh pada akhirnya butuh keberanian untuk melangkah sendiri, Butuh keistiqomahan untuk terus melangkah ke depan ketika yang lain berlutut dan berbalik arah, Butuh kelapangan ukhuwwah untuk terus ikhlas mengingatkan saudara kita agar bisa terus memperjuangkan da'wah ini, Tapi adalah keliru yang lebih besar apabila kita menggantungkan kekecewaan itu pada jalan ini, Menyalahkan jamaah atas dasar kekeliruan pribadi yang mengemban jalan ini, Memilih keluar dan berpaling, Menghindari sakit hati dan kekecewaan itu sendiri... Saudara kita tidak lah sempurna, Jalan ini bukan berar

The Miracle is you!

                Keajaiban, hanya akan datang kepada mereka yang berusaha dan bekerja keras serta berdoa. Keajaiban bukan semerta-merta suatu hal yang datang tanpa sebab maupun alasan. Tapi keajabian itu datang karena sebuah alasan dan sebab. Keajaiban tidak datang dengan sendirinya. Ia datang bersama usaha-usaha yang kita bangun untuk mencapai kesuksesan yang kita inginkan. Maka jangan pernah mengharapkan sebuah keajaiban jika kita tidak berusaha sebelumnya. Carilah keajaiban pada diri kita sendiri. Karena sesungguhnya dari diri Anda sendiri itulah keajaiban itu bermula. Tatkala diri Anda sudah mengerahkan seluruh potensi Anda untuk berusaha, juga berdoa, seketika itulah keajaiban akan datang nantinya. Keajaiban akan datang kepada mereka yang selalu percaya dan tidak pernah berputus asa. Berputus asa menjadi suatu pita pemutus datangnya keajaiban kepada diri kita. Jangan menyerah pada keadaan. Menyerah pada keadaan itu berarti kita juga menyerah terhadap datangnya keajaiban.

Langit Malam

Waktu yang berjalan sepertinya banyak membuatku lupa bagaimana caranya menikmati malam. Sudah lama aku tidak benar-benar merasakan dan benar-benar menanti datangnya malam. Tidak seperti dulu tepatnya. Menanti malam, dan saat ia datang, aku menikmatinya. Kala malam, sesekali aku dengan sengaja memerhatikan langit. Mencoba memikirkan apa yang ada di atas sana, sejauh mata memandang. Termenung dengan sejuta pertanyaan. Apa itu, bagaimana dia di sana, ada apa di sana, bagaimana mungkin benda itu terang sedang yang lain tidak. Guruku bilang, namanya bintang. Ia terang dengan cahayanya sendiri. Aku suka memandang bintang. Ia terlihat kecil-kecil dan begitu banyak. Hanya saja aku lupa, apakah benda itu berkerlip? Lebih-lebih saat kecil, aku suka bermain imajinasi. Mencoba menghubungkan garis-garis yang dibentuk bintang-bintang. Kemudian mengibaratkannya sebagai bentuk hewan, mulai dari kepala ikan sampai dengan rusa bahkan singa. Menarik bukan? Memandang ke arah lain, nampak bulan. Iya

Pulang

Aku masih (mencoba) bertahan. Berjibaku melawan keadaan, menahan perasaan. Bahkan sepertinya, perlawanan itu telah berbekas ruang yang sulit dihapuskan. Sudah terlalu lama ruang ini terbuka. Semakin lama justru semakin melebar. Bahkan saat ini, sepertinya sudah terlalu lebar. Sehingga sulit untuk dipertahankan. Dari ruang itu, seberkas kenangan terbang menuju angan-angan. Tergambar senyuman keindahan, tanda kesayangan. Kehangatan bukti kecintaan. Ketegasan yang ditampakkan adalah benih pengajaran yang ditanamkan. Semuanya menawarkan kerinduan. Kenangan itu sedikit demi sedikit berputar. Satu perbedaan di sana. Tampak paras kecantikan yang termakan bersama waktu yang berjalan. Keriput yang semakin lama semakin tertampakkan. Uban yang tanpa pengabaran. Ada apa dengan semua itu. Menjadi-jadilah ruang itu. Aku masih (mencoba) bertahan. Sampai akhirnya, tetes pelupuk mata yang memilih untuk melampiaskan. Tidak tertahankan.

Jalan Surga

Derap langkah terbata-bata Melawan deras seretan arus Kerikil-kerikil nan tajam bertebaran Hujan-hujan pun berjejak Kubangan menjadi ranjau penjuru jalan Sepanjang jalan derita menjadi makanan peluh resah bertemu dengan kesedihan Menawarkan mata untuk meneteskan Mungkin tidak banyak yang bertahan Ketika harta bukan menjadi pilihan Pangkat bukan menjadi tujuan Pujian tidak menjadi kebutuhan Justru mensyaratkan pengorbanan Saat-saat para pejalan mulai berguguran Namun tidak bagi mereka yang bertahan Bahkan meskinyawa menjadi taruhan Ketika pemandangan ujung jalan menjadi tawaran Sebuah kenikmatan tidak terbayangkan Tidak pernah terlintas dalam pikiran Tidak tergambarkan dan tidak pernah didengarkan Inilah sebuah jalan Jalan setapak menuju kemenangan Begitu panjang dan melelahkan Mungkin tidak banyak yang bertahan Perkenalkan inilah sebuah jalan jalan surga, jalan kemenangan