Langsung ke konten utama

Gagal Bersembunyi


Tunjukkan aku seorang guru.
Gunung kudaki, lautan kuseberangi, hingga penjuru.
Berakit ke hulu, demi satu ilmu.
Bagaimana bersembunyi darimu.
***

Menyedihkan. Entah bagaimana, kata itu menjadi familiar sekarang.

Aku yang gagal bersembunyi. Mudah saja kamu temui mataku yang berlari saat mata kita bertemu. Mungkin terlalu lama aku memperhatikanmu sehingga benar, ada risih yang kamu rasakan, hingga mencari darimana sumber itu. Selalu mengamatimu, mungkin hanya akan menghalangimu dari indahnya pemandangan.

Aku yang gagal bersembunyi. Membolak-balik lamanmu seperti menjadi candu. Berkali-kali hingga puluhan kali dalam sehari. Hanya untuk mencari tau kabar terbaru darimu. Kuulangi membaca tulisanmu yang dulu, mencoba benar-benar meresapi, menyangkut-pautkan kejadian sana-sini, memosisikan dari sudut pandangmu. Agar kutahu, apa yang bisa kulakukan untukmu.

Aku yang gagal bersembunyi. Memaksakan kehendakku, mengusikmu, hanya untuk mencari perhatianmu. Dan selalu saja konyol yang terasa. Saat mengira ada suatu masalah yang menimpamu, tetiba mencari cara untuk mengirim obrolan, kemudian memberikan semangat untukmu. Risih memang. Mana mungkin kamu bercerita padaku. Ahh… maaf telah membuang waktumu, hanya untuk melihat teks tak penting seperti itu.

Tak bisa dielak, ruang kecil dalam hati yang dulunya susut, kini telah memberingsut. Ruang takut. Tuhan tolong!

Menyedihkan.
Bisik kanan, tetaplah, teruskan perjuangan, semoga ada harapan.
Bisik kiri, menyerahlah, sudahi, kamu hanya menghalangi.
***

Pagi menjelang. Lamat-lamat kuamati eloknya langit. Hangat mentari, menghilangkan dingin malam tadi. Iya, mungkin inilah saatnya, mengusikmu hanya membuat ragu. Kejar saja impianmu! Aku mendukungmu!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...