Langsung ke konten utama

Sekolah Orang Baik


“Assalamualaikum. Aku pulang…”, teriak Aisyah saat memasuki rumah.
“Waalaikumsalam. Sudah pulang to jagoan Ayah satu ini.”, kata Ayah sambil memeluk Aisyah.
“Loh, kok mukanya cemberut gitu? Habis dimarahin Ibu ya?”
“Bukan karena Ibu Yah. Aisyah sedih. Pagi tadi Aisyah dapat kabar kalau Pak Guru sedang dirawat di rumah sakit Yah.”, jawab gadis kecil itu.
“Pak Guru opname Nak? Ayah baru tau.”
“Ayah, kenapa sih orang seperti Pak Guru harus sakit? Padahal Pak Guru baik banget sama Aisyah Yah.”
“Hmmh… emang iya? Kalo Ayah baik juga enggak sama Aisyah?”. Canda Ayah sambil mencubit pipi anaknya.
“Yah Ayah… serius nih.”, gerutu Aisyah. “Aisyah kasian sama Pak Guru. Aisyah tahu kalau Pak Guru rajin sholat, rajin ngaji, suka bantu Aisyah kalau Aisyah sulit ngerjain Matematika. Apa Allah sedang tidur ya Yah?”
“Wah, anak Ayah perhatian sama Pak Gurunya ya ternyata. Sini Nak, kemari duduk dulu. Ayah kasih tahu sesuatu.”, jawab Ayah sambal mengajak Aisyah untuk duduk di kursi.
“Serius ya Yah? Awas deh kalo bercanda lagi. Aisyah gak mau mijetin Ayah lagi nanti.”
“Haha, iya iya, serius kok.”

“Begini, Allah, Tuhan kita tidak pernah tidur Nak. Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.”
“Lalu kenapa orang baik diberi sakit Yah sama Allah?”, potong Aisyah.
“Itu biar orang baik seperti Pak Guru bisa naik kelas Nak.”
“Naik kelas? Maksut Ayah? Emang Pak Guru sedang sekolah Yah?”
“Haha, iya Nak. Sekolahnya Allah yang isinya orang-orang baik semua., sepeti Pak Guru. Gini deh, Ayah Tanya. Selama ini di sekolah, kenapa sih Aisyah mau ikut ujian kenaikan? Kenapa gak bolos aja?”
“Ya biar bisa naik kelas dong Yah. Kalau Aisyah bolos, Aisyah ketinggalan sama temen-temen yang lain dong…”
“Benar sekali. Itu juga yang saat ini Pak Guru sedang alami Nak. Pak Guru sedang menghadapi ujian dari Allah. Biar nanti Pak Guru bisa naik kelas di sekolahnya Allah.”
“Hmmh... Aisyah gak paham sama yang Ayah omongin.”. Aisyah menggelengkan kepala.
“Jadi Nak, saat Allah mencintai hamba-Nya, maka Allah akan menguji orang tersebut Nak. Seperi Pak Guru yang dicintai Allah, tentu Allah akan mengujinya. Hingga dosa-dosanya nanti akan diampuni dan pahalanya ditambah jika mampu bersabar. Nah, akhirnya kalau Pak Guru bisa lulus, Pak Guru akan masuk ke surganya Allah Nak. Begitulah sekolahnya orang baik.”

“Emh… gitu ya Yah? Jadi Pak Guru murid di sekolahnya Allah? Jadi Pak Guru dicintai Allah Yah?”
“Iya dong, kan Pak Guru orang baik, rajin sholat, rajin ngaji, dan sebagainya. Aisyah juga gitu, kalau Aisyah jadi orang baik, Aisyah bisa sekolah di sana.”
“Wah, nanti Aisyah sekolah lagi dong Yah?”
“Iya, kan biar Aisyah masuk surga. Mau gak Aisyah masuk surga?”
“Mau! Mau! Mau dong Yah. Nanti kalo Aisyah di surga, Ayah aku ajak deh.”
“Haha oke. Awas ya kalau lupa. Aisyah mau jadi orang baik kan? Sini pijetin Ayah.”
“Yah Ayah, kan tadi pagi sudah dipijetin, masak sekarang lagi.”, gerutu Aisyah.

Sore itu beranjak gelap. Saat burung-burung mulai menutupkan sarangnya dan matahari menghilang di peraduan. Sekolah orang baik akan selalu ada di dunia.  Mereka, orang baik, harus bersabar menitih pelajarannya. Hingga tiba hari kelulusan, saat kesabaran tersebut akan tergantikan dengan surga yang merindukan.

***


Apakah mereka mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?
(Al-Ankabut: 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...