Langsung ke konten utama

Bertahan dalam Heterogenitas


Terdapat sebuah konsep sederhana mengenai diri kita dan lingkungan kita. Ketika kita berada di sebuah lingkungan, akan ada 2 pilihan yang mengikutinya : mewarnai atau terwarnai.  Mewarnai berarti kita memberikan pengaruh ke luar. Sedang terwarnai berarti kita dipengaruhi dunia luar. Sadar atau tidak, konsep seperti itu benarlah adanya. Hal itu sejalan dengan apa yang disabdakan Rasulullah dengan perumpamaan ketika kita berteman dengan pandai besi ataupun dengan penjual minyak wangi.

Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Satu hal yang dapat kita sepakati di sini ialah kita harus mampu memilih lingkungan yang tepat untuk kita. Lingkungan yang menurut kita itu baik dan kita merasa nyaman di dalamnya. Memilih lingkungan tersebut haruslah tidak sembarangan, karena lingkungan itulah, berserta orang-orang yang ada di dalamnya, sedikit banyak serta cepat lambat akan mempengaruhi kita.

Namun dalam kenyataannya kita sering dihadapkan dalam sebuah lingkungan yang sifatnya begitu heterogen. Heterogen di sini bisa kita artikan dengan bermacam-macam tipe orang yang mungkin sifat, perilaku, dan kepribadiannya yang berbeda atau bahkan mungkin berlawanan dengan kita.

           Pertanyaannya, bagaimana kita mampu bertahan dalam lingkungan yang heterogen?

Pertama, tentu kita harus menerima kenyataan seperti itu. Menerima di sini berarti kita menyadari dan tidak berlari dari hal tersebut. Karena kalaupun kita mencoba berlari menjauhi justru kita sendiri yang akan menjadi bagian ‘terkucilkan’ di lingkungan kita. Jadi, kita harus berani menghadapi heterogenitas tersebut.

Setelah itu, dalam lingkungan yang heterogen tersebut, kita harus berusaha untuk mencari orang-orang ‘sejalan’ dengan kita di dalamnya. Maksutnya, kita berusaha mem-filter orang-orang yang kita jadikan sebagai teman kita. Di tengah heterogenitas atau perbedaan-perbedaan itu, berusahalah mencari orang-orang dengan persamaan pada diri kita yang menurut kita tepat.

          Berikutnya, kita perlu untuk memiliki sarana penguat lainnya. Sarana penguat lain maksutnya adalah kita mempunyai lingkungan lain (di luar lingkungan heterogen ini) untuk menjadi salah satu pijakan kita. Ibaratnya seperti pohon yang berdiri di tengah kencangnya terpaan angin. Tentu pohon tersebut harus memiliki akar yang kuat dan semakin banyak akar-akar yang ada, pohon itu semakin mampu bertahan. Jadi, perkuatlah ‘akar-akar’ kita.

        Terakhir, seperti jembatan yang berdiri kuat, ia harus memiliki fondasi yang kuat. Pun sama dengan kita. Mencoba bertahan di tengah lingkungan heterogen ini, kita perlu ‘kekuatan’. Sebaik-baiknya kekuatan ialah kekuatan dengan sumber yang tiada batasnya. Ialah sumber dari segala sumber. Ialah Dzat Yang Maha Kuat. Artinya, di tengah usaha kita, tetaplah kita berdoa dan bergantung kepadaNya, sehingga kita akan menjadi ‘diri kita’ saat bertahan dalam heterogenitas. J



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

Yang Terbaik

Manusia hidup dengan keinginan. Mereka mempersiapkan segala sesuatu demi mewujudkan apa yang menjadi cita-cita mereka. Sebagian mendapatkan, sebagian tidak. Sebagian merasa gembira dengan perolehannya. Sebagian tidak. Merasa sedih dengan kegagalannya. Manusia memang dituntut untuk menyempurnakan usaha. Karena dengan begitu, kita bisa menjemput takdir Tuhan untuk kita. Genapkan usaha. Kemudian berserah. Rahasia terbesarnya ialah, apa yang menurut kita baik dalam pandangan kacamata manusia, ternyata belum tentu sejatinya baik. Sebaliknya, apa yang buruk menurut manusia, belum tentu sejatinya buruk.  Percayalah. Dengan begitu, semua yang kita hadapi dalam kehidupan ini, akan menjadi bentuk syukur kita kepadaNya. Tidak patut terlalu bergembira atas pemberian dariNya, juga tidak akan bersedih tentang apa yang luput dari keinginan kita. "Aku menjadi paham jika prasangkaku hanya sekedar prasangka. Tidak lebih. Dan kini kutemui, apa-apa yang terbaik itu tidak pernah ada da...