Langsung ke konten utama

- Pujian Kepada Ibu -


“Apakah Ibu terlihat cantik, Nak?”
***
Memoriku terlempar jauh pada peristiwa lampau. Ketika dirimu mencoba dengan susah payah untuk memakaikanku baju dan celana. Sementara aku dengan tidak berdosanya menghiraukan hal itu dan berlari kesana kemari. Kemudian, seperti biasa, saat engkau berhasil memakaikanku pakaian tersebut, kau katakan kepada orang-orang sekitar tentangku, “Anakku yang ganteng dan sholeh…”.

Kemudian ketika usiaku beranjak dewasa. Saat fase-fase kritis menggoncangkan hidupku. Berbagai masalah datang seakan tidak memberi jeda. Hingga keputusasaan yang hampir terucap, kau katakan kepadaku, “Tidak Nak, kamu pasti bisa. Percayalah Nak, kamu hebat, dan kamu pasti bisa”.
***
“Apakah Ibu terlihat cantik, Nak?”

Kembali lagi kau tanyakan kepadaku pertanyaan itu.
Aku terhentak.
Apakah pernah selama ini aku memujimu? Selama ini, sekian tahun ini, hingga dirimu berbaring lemah tak bertenaga seperti saat ini? Apakah pernah aku memujimu? Aku terdiam.

“Apakah Ibu terlihat cantik, Nak?”
“Memangnya mengapa Ibu?”, jawabku pelan.

Tanpa sadar kalimat itu yang justru keluar. Bukan memberi jawaban yang sudah sepantasnya diberikan kepada seorang wanita tua yang terbaring lemah seperti itu. Barangkali memang karena aku sendiri yang tidak pernah sama sekali memujinya selama ini.

“Nak, Ibu ingin terlihat cantik Nak. Setidaknya untuk kali terakhir ini dalam sepanjang hidup Ibu. Ibu ingin terlihat cantik Nak. Ibu malu, saat Ibu harus bertemu dengan-Nya nanti. Ibu ingin terlihat cantik saat di depan Allah Nak.”

Luluh. Seketika. Bibirku bergetar. Hatiku terhenyak. Air mata terbendung di pelupuhan. Tidak. Bukan saatnya untuk menangis. Apakah di saat ia meminta sebuah pujian lalu justru aku menjawabnya dengan tangisan. Tidak. Tidak boleh.

“Bagaimana Nak? Apakah Ibu terlihat cantik?”

Suara itu kembali terdengar.

 “Iya Bu, Ibu tampak cantik, sungguh Bu. Tidak pernah engkau secantik ini Bu. Sungguh…”

Ibu tersenyum.

Aku meraih tangan Ibu dan kupegang erat. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa. Apa mungkin karena sudah terlalu lama aku tidak memegang tangannya? Atau bahkan mencium tangannya?

Pikiranku melayang. Mempertanyakan kemana sajakah diriku selama ini. Aku tersadar, sudah terlampau keterlaluan diriku ini.

Aku mencium tangan Ibu.
Dalam hati aku berdoa, “Ya Allah, ampuni diriku yang sering melupakan Ibu. Ya Allah, hamba mohon Ya Allah, berikan waktu bagi hamba sekali lagi untuk membahagiakannya, untuk memujinya, untuk mengatakan setiap hari bahwa Ibu cantik… mengatakan setiap hari bahwa hamba menyanyanginya.. hamba mencintainya…hamba mohon ya Allah…”


Senyum Ibu perlahan menghilang. Kelopak matanya sedikit demi sedikit menutup.
Air mataku tumpah seketika…


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...