Langsung ke konten utama

Sederhana (saja)


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Seperti burung yang berkicau saat pagi, begitu riangnya.
Setiap orang punya masa lalu. Termasuk dirimu. Persis dengan hal yang orang-orang di sekitar kita perbincangkan mengenaimu. Mengenai masa lalumu. Namun, aku tidak peduli itu. Karena aku yakin, engkau akan berubah. Terlihat dari sikapmu saat ini kepadaku.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Seperti hangatnya mentari yang menyambutmu di pagi hari. Aku tidak akan menuntutmu agar dirimu menjadi baik. Cukuplah menjadi dirimu sendiri saat ini. Karena di situlah, dengan kejujuranmu aku akan mencintaimu. Ketika memang engkau ingin merubah dirimu agar setidaknya dinilai lebih baik, maka lakukanlah itu dengan hatimu. Jangan berpura-pura, hanya karena ingin terlihat baik. Jadilah baik dengan hatimu. Tidak berpura-pura.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Seperti bulan yang tidak menuntut mentari menemani di saat malam. Maka aku tidak akan memintamu untuk mencintaiku seperti aku mencintaimu. Bahkan untuk menikah denganku. Cukup sederhana. Kalau pun engkau harus menikah dengan seseorang, maka lakukanlah dengan hatimu, karena engkau mencintainya. Tidak dengan alasan yang lain.

Dan saat ini, saat aku mencintaimu, biarlah Tuhan yang nantinya akan menentukan, akan mempertemukan kita pada satu titik cinta yang sama ataukah tidak. Jika tidak, itu berarti Tuhan telah mempersiapkan cinta terbaik untuk diri kita masing-masing. Aku percaya itu.

Iya. Sesederhana itu.
Cukup sederhana bukan?

Maka ijinkanlah aku mencintaimu dengan sederhana.


Komentar

  1. lakukan dengan hatimu, untuk cintamu, karena aku mencintaimu dengan sederhana (y)

    keren ini bro
    pas banget :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...