Langsung ke konten utama

Energi Harapan

Surakarta, 11 Januari 2015

            Beberapa hari yang lalu, seorang guru mengingatkanku tentang pentingnya ‘harapan’. Ceritanya bermula saat memasuki kuliah seperti biasanya. Kuliah dimulai, sang dosen pun mulai menerangkan pelajaran. Saat itu, seperti biasa pula, aku tau bahwa tidak semua mahasiswa saat itu benar-benar memperhatikan apa yang disampaikan. Mungkin hanya sebagian kecil yang benar-benar memperhatikan. Itu pun mereka yang posisi tempat duduknya paling depan dan paling dekat dengan tempat sang dosen berdiri.
            Waktu berjalan. Saat menerangkan pelajaran ini dan itu, sesekali sang dosen menanyakan beberapa pertanyaan kepada kami. Mungkin yang mencengangkan baginya adalah saat beliau bertanya, tidak satupun mahasiswa ada yang menjawab. Awal pertanyaannya terkait dengan pelajaran. Satu dua pertanyaan. Tapi kemudian, karena mungkin beliau sedikit kecewa dengan kami yang saat itu tidak ada sama sekali yang menjawab pertanyaan. Bukan kami tidak bisa. Tetapi karena kami saja yang ‘malas’ untuk menjawab.
            Menarik lagi, setelah itu, sang dosen berhenti menerangkan pelajaran. Kemudian, beliau bertanya tentang harapan. Yang beliau tanyakan, seperti ini “apa sih harapan kalian di sini? Apasih yang kalian harapakan dengan kalian mengikuti kuliah ini? Apakah hanya sekedar absensi?”
***

            Memang mungkin sering kali kita terjebak oleh yang namanya rutinitas. Kita melakukan aktivitas-aktivitas tersebut setiap harinya. Tapi terkadang kita justru kehilangan nilai-nilai atau esensi dari apa yang kita lakukan. Sepertinya hal ini sepele, tetapi sangat membahayakan. Karena jika kita terjebak dalam perangkap itu, kita akan larut oleh waktu tanpa benar-benar merasakan adanya waktu tersebut. Sehingga pada akhirnya kita hanya akan mempertanyakan kemana pergi waktu kita.
            Contohnya sederhananya ialah rutinitas sekolah. Setiap hari kita mungkin kuliah. Melewati hari dengan datang ke kampus, ke ruang kuliah, kemudian mendengarkan guru bercerita. Ketika selesai, kemudian kita pulang. Pada akhirnya, kita yang terjebak karena rutinitas tersebut, akan bertanya, “kok tiba-tiba sudah mau lulus ya? Ilmu apa ya yang sudah aku dapat?”. Pernah merasakan hal tersebut?
            Saatnya kita menghadirkan harapan di setiap aktivitas-aktivitas kita. Harapan tersebut akan memberikan energi besar dalam aktivitas kita. Dengan harapan, kita akan benar-benar merasakan diri kita di saat ini.
***

            Pagi ini, saat dirimu membuka matamu, maka tanyakanlah pada dirimu sendiri.
“Apa harapanmu untuk hari ini?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...