Langsung ke konten utama

Patokan Kehidupan



 Alkisah hiduplah seekor kelinci dan seekor kura-kura di suatu desa. Suatu sore, tatkala berjalan mengelilingi desa, kelinci bertemu Si Kura-kura di jalan. Setelah berbincang-bincang, entah bagaimana, ujung-ujungnya, Si Kelinci menantang Si Kura untuk lomba lari mengitari desa. Si Kelinci yang sombong, hendak pamer akan kemampuannya kepada Si Kura. Si Kura yang tidak suka diremehkan akhirnya mengiyakan ajakan Si Kelinci untuk bertanding. Lomba pun dimulai. Sekian menit berlari. Selesailah lomba itu dan tak disangka sang juara adalah Si Kura.

Sudah pernah denger cerita tersebut? Saya yakin sih sudah, bagi yang belum, mungkin Anda perlu menyadari, bahwa masa kecil Anda sedikit kurang bahagia, hehe. Cerita itu tentang Si Kelinci yang sombong dan Si Kura yang pantang menyerah, tentu dengan sedikit improvisasi di sana- sini, haha. Kembali ke cerita. Di akhir cerita, dengan bahasa lain, saya katakan bahwa Si Kura telah menjadi juara walaupun dengan kelemahan. Kelemahan di suatu hal, yakni masalah berlari. Sedangkan Si Kelinci memiliki keunggulan di hal tersebut. 

            Di tulisan ini saya ingin mengajak Anda untuk memahami suatu hal yang lebih dalam dari cerita tersebut. Kaitannya dengan kehidupan. (Weeh, beraat broo, tumben haha). Di dalam kehidupan kita, tentu tidak pernah terlepas dari suatu kelebihan ataupun kekurangan. Setuju? Di mana ada kelebihan, di situ ada kekurangan. Itulah kaidah dasar yang berlaku selamanya. Dan selama itu pula, tidak ada manusia yang sempurna. Sedikit berbeda dengan cerita Si Kelinci dan Si Kura, saya mencoba mengambil sebuah contoh, yakni Si Kaya dan Si Miskin. Mengapa saya mengambil contoh keduanya? Karena sepertinya, kalau saya mengambil contoh Si Ganteng dan Si Buruk Rupa, itu terlihat sarkasme, dan saya tidak ingin menyinggung Anda, hehe bercanda.

            Alkisah di sebuah desa, hiduplah Si Kaya dan Si Miskin. Si Kaya dengan kelebihan hartanya memiliki rumah besar dan mobil mewah. Sedang Si Miskin, jangankan mobil mewah, untuk makan saja susah. Itulah perbedaan keduanya. Namun, di sisi lain, ada perbedaan lagi. Ternyata Si Miskin banyak memiliki kawan, karena sifatnya yang rendah hati, suka bergaul dengan sekitar, dan setiap sholat selalu berjamaah di masjid. Sedangkan Si Kaya? Berbeda 360 derajat. Nah, di akhir cerita (kenapa tiba-tiba udah di akhir aja, hehe), Si Miskin masuk surga sedang Si Kaya masuk neraka.

            Maksut saya dari kedua cerita tersebut adalah, dalam kehidupan kita hendaknya kita menggunakan patokan yang tepat agar hasilnya pun tepat. Ketika tidak menggunakan patokan yang tepat, tentu hasilnya tidak akan tepat pula. Setiap kelebihan ataupun kekurangan, setiap kebaikan ataupun keburukan yang hadir pada kehidupan kita, mari kita mengambil sebuah patokan keberhasilan bahwa kedekatan kita dengan Tuhan-lah yang menentukan. Allah berfirman :

      “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al Anbiya : 35)

            Di dalam ayat tersebut, Allah telah mengatakan jelas bahwa ujian di sini memiliki 2 bentuk : kebaikan dan keburukan. Dan patokan keberhasilan ujian tersebut ialah kedekatan kita dengan Allah SWT. Akan berbeda ceritanya jika Si Kelinci yang dengan kebaikannya dalam hal berlari, ia gunakan untuk menolong Si Kura dan hewan-hewan lainnya, tentu dengan niat ikhlas menolong karena Allah. Akan berbeda pula ceritanya, Si Kaya yang dengan kelebihan hartanya, ia gunakan untuk berjihad di jalan Allah SWT. Sehingga dengan kelebihan tersebut, ia mendekatkan dirinya kepada Allah. So? Sekali lagi saya tekankah, bahwa patokan kehidupan yang semestinya kita ambil ialah soal kedekatan kita dengan Allah SWT, dalam situasi apapun, dalam kelebihan dan kekurangan, atau kebaikan dan keburukan. Terakhir, saya kutipkan hadits yang seharusnya kita jadikan pegangan kita.

“Sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena segala keadaan untuknya selalu sangat baik dan hal ini tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya, dan bila menderita kesusahan ia sabar, maka sabar itu lebih baik baginya.‘” (HR. Imam Muslim)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...

Tanam dan Tuai

Apa yang kamu tanam, itulah yang kamu tuai.                           Pepatah tua telah mengajarkan kita akan pelajaran kehidupan.   Ibaratnya seorang petani yang menanam padi, tentu akan menuai padi pada akhirnya. Tidak mungkin menuai mangga, jambu ataupun yang lain. Kebaikan dan keburukan pun berlaku seperti itu.             Seorang pernah berujar, bahwa dunia ini tidak adil. Mengapa? Ia mengatakan, orang-orang baik, yang memiliki akhlak yang bagus, mulia dan terpuji justru tidak merasakan kebaikan yang ditanamnya. Ia berpandangan begitu dengan melihat orang-orang miskin di sekitarnya. Lantas dibandingkan dengan orang-orang kaya raya, justru merasakan kebaikan dunia ini dengan kemewahannya, padahal mereka sendiri memiliki akhlak yang buruk, eogis, lupa sholat, dan lainnya. Lalu? Bagaimana dengan konsep...

Harga Sebuah Senyuman

Selalu ada hal-hal kecil yang begitu berharga, namun tak ternilai dengan harta. *** Senyuman itu tak berbiaya. Tetapi manfaatnya luar biasa. Memperkaya yang menerima. Tak memiskikankan pemberinya. Saat ini, jadilah aku pekerja, mencari cara untuk meminta senyuman berharga. Teristimewa dari orang-orang sekitar. Menghapus lara serta duka yang melingkar. Menyingkirkan kusut yang memberingsut. Sirna lelah karena masalah. Favorit! Hal itu akan menjadi pekerjaan kesukaanku nantinya. Bagaimana berupaya untuk membuatnya tersenyum. Lepas. Bahagia. Cantik. Orang bilang sebagai senyuman, senyuman yang begitu menenangkan. Memberikan kehangatan meski lisan tak terucapkan. Kelak nanti dalam sejarah cerita, senyuman itu akan selalu mengingatkan, bahwa di baliknya ada perjuangan berharga yang tidak ternilaikan, ada perasaan suci yang berusaha dijaga murni, sebaik-baiknya, selama-lamanya. Senyuman itu. Kelak, harus kujaga. Setiap terangnya hingga gelapnya. Bangunnya dan juga tidu...