"Sampai engkau pun menyalahkan saya wahai anak budak hitam!"
Begitulah lontaran kata Abu Dzar kepada Bilal bin Rabah
ketika bertikai. Abu Dzar memang belajar dalam bimbingan Nabi saw. Saat itu ia
khilaf. Mendengar perkataan seperti itu, tentu Bilal tersinggung, sedih, dan
marah. Ia pun mengadu kepada Nabi saw. Seketika sahaja,
berubah wajah Rasulullah menjadi merah padam. Ketika Abu Dzar menemui beliau, Rasulullah pun berkata
perihal hal tersebut.
"Wahai Abu Dzar, apakah engkau mencela ibunya? Sungguh masih ada sisa perkara jahiliyah pada dirimu!"
"Wahai Abu Dzar, apakah engkau mencela ibunya? Sungguh masih ada sisa perkara jahiliyah pada dirimu!"
Kemudian Abu Dzar pulang sambil
menangis. Sungguh luar biasa perasaan sedih Abu Dzar. Ia tertegun dengan
perkataan Rasulullah yang begitu ia cintai. Menyadari kesalahannya,
ia, meminta agar Rasulullah memohonkan ampunan bagi dirinya kepada Allah.
Tidak berhenti sampai
di situ, segera ia menemui Bilal. Lantas berbaring di hadapan Bilal,
menempelkan wajahnya ke tanah meminta agar Bilal menginjak mukanya seraya
berseru,
“Demi Allah, wahai Bilal injak muka
saya.. Engkaulah yang mulia dan akulah yang hina. Aku tidak akan
mengangkat pipiku dari tanah hingga kau injak pipiku ini agar engkau
memaafkanku.”
Bilal memandang Abu Dzar dan berkata, “Berdirilah engkau, aku sudah memaafkanmu.” Melihat Abu Dzar yang menangis dengan perasaan bersalah itu, Bilal kemudian membangunkannya dan memeluk Abu Dzar. Mereka pun berpelukan sambil menangis.
Bagaimana keberanian
Abu Dzat mengakui kesalahan yang dilakukan.
Bagaimana keikhlasan
hati Bilal dalam memaafkan kesalahan.
Sungguh indah akhlak
yang diperlihatkan kedua sahabat Rasul itu. Tidakkah hatimu berdecak kagum
ketika Abu Dzar mempersilahkan Bilal menginjakkan kaki di pipinya? Tidakkah
hatimu bertanya ketika Bilal dengan mudahnya memaafkan?
Mau mengakui dan mau memaafkan.
Wahai Saudaraku bagaimanakah
dengan kita?
Dalam menjalani hidup
sosial bermasyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah kesalahan, entah
itu terhadap tetangga, kawan, ataupun rekan kerja. Kesalahan pun menjadi suatu hal yang biasa dan wajar dalam kita
berinteraksi dengan sesama. Terlepas dari kewajaran itu, menyikapinya dengan
maaf dan saling memaafkan, itulah yang menjadi hal luar biasa di dalamnya.
“Setiap
Anak Adam tidak luput dari kesalahan, dan sebaik – baik orang yang berbuat
kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Seberapa sering kita gengsi
meminta maaf lantaran pangkat kita, kedudukan kita? Begitu pula sebaliknya,
seberapa sering kita enggan memaafkan lantaran hati yang sulit mengikhlaskan?
Segala kegengsian hingga keengganan kita untuk maaf dan saling memaafkan, akan
menjadi duri tajam dalam hati kita. Duri itu, justru tidaklah berdampak keluar,
melainkan terus tumbuh dan merusak diri sendiri. Kian tajam. Kian merusak.
Wahai Saudaraku, masih adakah duri itu yang
kau tanam?
“…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada.
Apakah
kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)
Komentar
Posting Komentar