Langsung ke konten utama

Indahnya Saling Memaafkan


"Sampai engkau pun menyalahkan saya wahai anak budak hitam!" 

Begitulah lontaran kata Abu Dzar kepada Bilal bin Rabah ketika bertikai. Abu Dzar memang belajar dalam bimbingan Nabi saw. Saat itu ia khilaf. Mendengar perkataan seperti itu, tentu Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia pun mengadu kepada Nabi saw. Seketika sahaja, berubah wajah Rasulullah menjadi merah padam. Ketika Abu Dzar menemui beliau, Rasulullah pun berkata perihal hal tersebut.

"Wahai Abu Dzar, apakah engkau mencela ibunya? Sungguh masih ada sisa perkara jahiliyah pada dirimu!"

Kemudian Abu Dzar pulang sambil menangis. Sungguh luar biasa perasaan sedih Abu Dzar. Ia tertegun dengan perkataan Rasulullah yang begitu ia cintai. Menyadari kesalahannya, ia, meminta agar Rasulullah memohonkan ampunan bagi dirinya kepada Allah.
Tidak berhenti sampai di situ, segera ia menemui Bilal. Lantas berbaring di hadapan Bilal, menempelkan wajahnya ke tanah meminta agar Bilal menginjak mukanya seraya berseru, 
 
Demi Allah, wahai Bilal injak muka saya.. Engkaulah yang mulia dan akulah yang hina. Aku tidak akan mengangkat pipiku dari tanah hingga kau injak pipiku ini agar engkau memaafkanku.”

Bilal memandang Abu Dzar dan berkata, “Berdirilah engkau, aku sudah memaafkanmu.” Melihat Abu Dzar yang menangis dengan perasaan bersalah itu, Bilal kemudian membangunkannya dan memeluk Abu Dzar. Mereka pun berpelukan sambil menangis.

Bagaimana keberanian Abu Dzat mengakui kesalahan yang dilakukan.
Bagaimana keikhlasan hati Bilal dalam memaafkan kesalahan.

Sungguh indah akhlak yang diperlihatkan kedua sahabat Rasul itu. Tidakkah hatimu berdecak kagum ketika Abu Dzar mempersilahkan Bilal menginjakkan kaki di pipinya? Tidakkah hatimu bertanya ketika Bilal dengan mudahnya memaafkan?
Mau mengakui dan mau memaafkan.
Wahai Saudaraku bagaimanakah dengan kita?


Dalam menjalani hidup sosial bermasyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah kesalahan, entah itu terhadap tetangga, kawan, ataupun rekan kerja. Kesalahan pun menjadi suatu hal yang biasa dan wajar dalam kita berinteraksi dengan sesama. Terlepas dari kewajaran itu, menyikapinya dengan maaf dan saling memaafkan, itulah yang menjadi hal luar biasa di dalamnya.

“Setiap Anak Adam tidak luput dari kesalahan, dan sebaik – baik orang yang berbuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Seberapa sering kita gengsi meminta maaf lantaran pangkat kita, kedudukan kita? Begitu pula sebaliknya, seberapa sering kita enggan memaafkan lantaran hati yang sulit mengikhlaskan? Segala kegengsian hingga keengganan kita untuk maaf dan saling memaafkan, akan menjadi duri tajam dalam hati kita. Duri itu, justru tidaklah berdampak keluar, melainkan terus tumbuh dan merusak diri sendiri. Kian tajam. Kian merusak.

Wahai Saudaraku, masih adakah duri itu yang kau tanam?

“…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
 Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harga Sebuah Senyuman

Selalu ada hal-hal kecil yang begitu berharga, namun tak ternilai dengan harta. *** Senyuman itu tak berbiaya. Tetapi manfaatnya luar biasa. Memperkaya yang menerima. Tak memiskikankan pemberinya. Saat ini, jadilah aku pekerja, mencari cara untuk meminta senyuman berharga. Teristimewa dari orang-orang sekitar. Menghapus lara serta duka yang melingkar. Menyingkirkan kusut yang memberingsut. Sirna lelah karena masalah. Favorit! Hal itu akan menjadi pekerjaan kesukaanku nantinya. Bagaimana berupaya untuk membuatnya tersenyum. Lepas. Bahagia. Cantik. Orang bilang sebagai senyuman, senyuman yang begitu menenangkan. Memberikan kehangatan meski lisan tak terucapkan. Kelak nanti dalam sejarah cerita, senyuman itu akan selalu mengingatkan, bahwa di baliknya ada perjuangan berharga yang tidak ternilaikan, ada perasaan suci yang berusaha dijaga murni, sebaik-baiknya, selama-lamanya. Senyuman itu. Kelak, harus kujaga. Setiap terangnya hingga gelapnya. Bangunnya dan juga tidu

Segenap Kekurangan

Captured April 6, 2021 Menjalani kehidupan di jenjang yang berbeda membutuhkan penyesuaian. Dalam segala hal. Terlebih bagi seorang pasangan suami istri yang menjalani kehidupan 24 jam Bersama. Seperti halnya pasangan yang lain, sudah tentu masing-masing dari kami memiliki banyak kekurangan. Satu hal yang kupercaya, bahwa Allah SWT. mempertemukan kedua insan dalam bahtera rumah tangga, pasti keduanya dipertemukan untuk saling melengkapi kekurangan-kekurangan itu. Sampai detik ini, dengan segala kekuranganku yang terjaga dengan kelebihan istriku, aku berjanji untuk selalu mencoba menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menjadi seorang imam yang baik, seorang sahabat yang peduli, seorang teman yang baik bagi dirinya. Aku berjanji… Ah iya.. foto itu diambil saat piknik di Glamping Jogja. Dengan 2 buah sepeda lipat yang sudah jarang terpakai… :p Mudah-mudahan bisa terpakai lagi dengan latar foto yang berbeda 😊

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk