Langsung ke konten utama

Jenak – Jenak Kejujuran


Hari – hari menjelang kedatangan Rasulullah saw. dari Tabuk sangat menegangkan. Setidaknya bagi Ka’an bin Malik. Jika saja ia berada dalam rombongan Rasulullah, tentu lain ceritanya. Seperti biasa, setiap pulang dari pejalanan, Rasul lebih dulu ke masjid. Ternyata, sekitar 80-an munafik telah menunggu di sana. Mereka memohon kepada Rasulullah agar beliau meminta ampunan kepada Allah karena meraka tidak ikut berperang. Mereka juga berharap Rasul sendiri mau memaafkan. Permintaan itu dikabulkan Rasul.

Akan tetapi wajah beliau tiba – tiba berubah menjadi merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka’ab bin Malik menemuinya. “Mengapa kamu tidak ikut ke Tabuk? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu?” tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu. Ka’ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relative tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tak logis untuk ukuran seorang kader yang ditarbiyah Rasul.

Ka’ab terdiam. Ia sudah menduga pertnyaan itu muncul. Itulah detik – detik penuh konflik dalam batinnya. Hal ini karena ia bermuamalah dengan Allah SWT dan berhadapan dengan Rasul Allah bukan karena ia tak mampu beralasan. Ia bisa melakukannya. Sebab seperti katanya sendiri, ia diberi kemampuan berargumentasi yang baik. Dalam situasi seperti ini, biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan “air muka”, atau “kebesaqran”, atau “kehormatan”, atau “wibawa”, atau “nama baik”.

Bentuk kedusataan pun bisa beragam. Yang paling sering muncul adalah rasionalisasi kesalahan, yaitu kecenderungan membenarkan kesalahan dengan alasan apapun. Atau dalam ungkapan Al Qur’an “akhadzat hul izzatu bil itsmi” (ia dipaksa oleh keangkuhan untuk membela dosanya). Konflik batin, itulah yang dirasakan Ka’ab bin Malik. Namun, apa jawaban Ka’ab?

“Wahai Rasulullah, andaikan aku berhadapan dengan orang selain engkau, aku yakin aku dapat meloloskan diri dengan satu alasan. Aku dapat berdusta kepadamu yang dengan dusta itu akan membuatmu ridha padaku, tetapi aku khawatir Allah akan membuatmu marah padaku (dengan mengukngkap kedusataan ini melalui wahyu). Wahai Rasulullah, tetapi aku jujur padamu, dan itu membuatmu marah padaku, aku masih bisa berharap agar kelak Allah mengampuni dosaku.”

Ka’ab telah melewati jenak – jenak penuh pertarungan itu, melewati detik – detik yang menegangkan dan sangat berat. Dan ia menang. Ia mengalahkan dirinya sendiri dan memenangkan kejujuran imannya atas dusta dan kemunafikan. “Orang – orang ini benar – benar telah berkata jujur.”, ucap Rasulullah. Selanjutnya, Rasul, “Wahai Ka’ab, berdirilah, sampai Allah memutuskan sesuatu untukmu.” Ka’ab pun mendapat hukuman, pemboikotan sosial selama 50 hari. Namun, itu lebih ringan daripada beratnya pertarungan batin untuk memenangkan kejujuran iman.


Kita semua akan menghadapi detik-detik seperti itu. Dan kita bisa menang, jika di saat seperti itu kita menyadari bahwa kita hanya bermu’amalah dengan Allah; yang mengetahui pengkhianatan mata dan segala yang tersembunyi dalam dada. Bukan dengan manusia; yang mudah dibohongi atau bahkan senang dibohongi. Itulah yang membuat kejujuran bernilai lain di mata Allah SWT. Itu pula sebabnya, mengapa banya di antara kita yang selalu gagal di etape ini.
-“Mencari Pahlawan Indonesia”- Anis Matta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wanita Beruntung

Kau tau siapa wanita paling beruntung di dunia ini? Itu adalah kamu. Tapi jika kamu mau bersamaku. *** Aku bukan lelaki yang kaya atau tajir seperti yang lainnya. Menyesal? Jangan salah. Aku percaya, soal rezeki sudah ada yang mengatur. Apa yang sudah ditakdirkan menjadi bagianku, sekecilpun itu tak akan berpindah. Tugasku hanya bekerja keras, seperti yang kulakukan sekarang. Keras dalam usaha, keras dalam berdoa. Toh kamu tau kan, kalau kekayaan itu bukan cuma soal harta. Dan siapa bilang orang kaya materi selalu bahagia? Aku mungkin lelaki yang konyol, sering ngebanyol seperti yang kamu tau tentang aku. Meremehkanku? Jangan salah. Aku juga bisa serius. Cuma perlu saat yang tepat. Kamu saja yang tidak melihatku di saat yang tepat. Aku beri tau ya, dunia ini ‘gak asik’ kalau terlalu serius. Bukannya kamu ingin lebih awet muda? Aku bukan lelaki tampan seperti lainnya. Menghinaku? Terserah. Siapa bilang aku tak bisa tampan? Mudah saja. Hanya butuh salon dan baju necis ...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...