Hari
– hari menjelang kedatangan Rasulullah saw. dari Tabuk sangat menegangkan.
Setidaknya bagi Ka’an bin Malik. Jika saja ia berada dalam rombongan
Rasulullah, tentu lain ceritanya. Seperti biasa, setiap pulang dari pejalanan, Rasul
lebih dulu ke masjid. Ternyata, sekitar 80-an munafik telah menunggu di sana.
Mereka memohon kepada Rasulullah agar beliau meminta ampunan kepada Allah
karena meraka tidak ikut berperang. Mereka juga berharap Rasul sendiri mau
memaafkan. Permintaan itu dikabulkan Rasul.
Akan tetapi wajah beliau tiba – tiba berubah menjadi merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka’ab bin Malik menemuinya. “Mengapa kamu tidak ikut ke Tabuk? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu?” tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu. Ka’ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relative tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tak logis untuk ukuran seorang kader yang ditarbiyah Rasul.
Ka’ab terdiam. Ia sudah menduga pertnyaan itu muncul. Itulah detik – detik penuh konflik dalam batinnya. Hal ini karena ia bermuamalah dengan Allah SWT dan berhadapan dengan Rasul Allah bukan karena ia tak mampu beralasan. Ia bisa melakukannya. Sebab seperti katanya sendiri, ia diberi kemampuan berargumentasi yang baik. Dalam situasi seperti ini, biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan “air muka”, atau “kebesaqran”, atau “kehormatan”, atau “wibawa”, atau “nama baik”.
Bentuk kedusataan pun bisa beragam. Yang paling sering muncul adalah rasionalisasi kesalahan, yaitu kecenderungan membenarkan kesalahan dengan alasan apapun. Atau dalam ungkapan Al Qur’an “akhadzat hul izzatu bil itsmi” (ia dipaksa oleh keangkuhan untuk membela dosanya). Konflik batin, itulah yang dirasakan Ka’ab bin Malik. Namun, apa jawaban Ka’ab?
Akan tetapi wajah beliau tiba – tiba berubah menjadi merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka’ab bin Malik menemuinya. “Mengapa kamu tidak ikut ke Tabuk? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu?” tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu. Ka’ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relative tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tak logis untuk ukuran seorang kader yang ditarbiyah Rasul.
Ka’ab terdiam. Ia sudah menduga pertnyaan itu muncul. Itulah detik – detik penuh konflik dalam batinnya. Hal ini karena ia bermuamalah dengan Allah SWT dan berhadapan dengan Rasul Allah bukan karena ia tak mampu beralasan. Ia bisa melakukannya. Sebab seperti katanya sendiri, ia diberi kemampuan berargumentasi yang baik. Dalam situasi seperti ini, biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan “air muka”, atau “kebesaqran”, atau “kehormatan”, atau “wibawa”, atau “nama baik”.
Bentuk kedusataan pun bisa beragam. Yang paling sering muncul adalah rasionalisasi kesalahan, yaitu kecenderungan membenarkan kesalahan dengan alasan apapun. Atau dalam ungkapan Al Qur’an “akhadzat hul izzatu bil itsmi” (ia dipaksa oleh keangkuhan untuk membela dosanya). Konflik batin, itulah yang dirasakan Ka’ab bin Malik. Namun, apa jawaban Ka’ab?
“Wahai Rasulullah, andaikan aku berhadapan dengan
orang selain engkau, aku yakin aku dapat meloloskan diri dengan satu alasan.
Aku dapat berdusta kepadamu yang dengan dusta itu akan membuatmu ridha padaku,
tetapi aku khawatir Allah akan membuatmu marah padaku (dengan mengukngkap
kedusataan ini melalui wahyu). Wahai Rasulullah, tetapi aku jujur padamu, dan
itu membuatmu marah padaku, aku masih bisa berharap agar kelak Allah mengampuni
dosaku.”
Ka’ab
telah melewati jenak – jenak penuh pertarungan itu, melewati detik – detik yang
menegangkan dan sangat berat. Dan ia menang. Ia mengalahkan dirinya sendiri dan
memenangkan kejujuran imannya atas dusta dan kemunafikan. “Orang – orang ini
benar – benar telah berkata jujur.”, ucap Rasulullah. Selanjutnya, Rasul, “Wahai Ka’ab, berdirilah, sampai Allah
memutuskan sesuatu untukmu.” Ka’ab pun mendapat hukuman, pemboikotan sosial
selama 50 hari. Namun, itu lebih ringan daripada beratnya pertarungan batin
untuk memenangkan kejujuran iman.
Kita
semua akan menghadapi detik-detik seperti itu. Dan kita bisa menang, jika di
saat seperti itu kita menyadari bahwa kita hanya bermu’amalah dengan Allah;
yang mengetahui pengkhianatan mata dan segala yang tersembunyi dalam dada.
Bukan dengan manusia; yang mudah dibohongi atau bahkan senang dibohongi. Itulah
yang membuat kejujuran bernilai lain di mata Allah SWT. Itu pula sebabnya,
mengapa banya di antara kita yang selalu gagal di etape ini.
-“Mencari
Pahlawan Indonesia”- Anis Matta
Komentar
Posting Komentar