Maka, dengan cinta manusia bisa
menjadi mulia
Dan dengan cinta pula, manusia bisa
menjadi hina
Sudah
menjadi fitrah manusia, terkandung rasa cinta dalam hati. Cinta kasih merupakan
sebuah anugerah yang terindah dari Sang Maha Cinta. Begitulah Allah Yang Maha
Mengetahui atas segala penciptaanNya. Termasuk kita manusia. Manusia adalah
makhluk sosial, bukan soliter, yaitu tidak bisa hidup sendiri. Berarti pula,
bahwa tanpa namanya ‘cinta’, maka manusia itu akan ‘mati’.
Sebagaimana suatu naluri, cinta
adalah penjelmaan yang muncul dari fitrah manusia untuk senantiasa memiliki
keturunan. Ia tertanam di hati manusia sejak awal penciptaannya, menjadi
kecenderungan alami yang keberadaannya menyerupai sebuah kontrol lembut yang
mengendalikan berbagai warna perasaan manusia yang menjadi sumber utama
dorongan untuk berfikir dan bertindak.
Begitulah
cinta. Karena pada akhirnya, cinta memang harus memilih. Lantas, cinta sepertia apa yang semestinya
kita pilih?
Cinta
tidaklah tercipta melainkan menjadi suatu hal yang bisa kita ubah atau arahkan.
Jika
cinta itu kemudian menanamkan kepedihan dihati pecinta, maka ada yang salah
dalam hal kita mencinta. Jika cinta itu kemudian seperti menyakiti kita, maka
ada yang salah dalam cara kita mencinta. Karena tidak selayaknya, kita
mengeluhkan atas fitrahnya hati yang mencintai. Tidak selayaknya pula kita
serta merta menyalahkan cinta.
Segala
bentuk cinta yang tidak diarahkan kepada haknya, maka ia akan membelit dan
menyakiti kita sendiri. Berbeda jika anugerah yang agung itu bisa kita arahkan.
Jika cinta itu terarah, maka keberadaannya akan menyempurnakan sempurnanya
kebahagiaan. Salah satu alasan lahirnya sebuah kebahagiaan dihati kita adalah
karena pohon iman yang menaungi hati kita, pohon itu tidak akan tumbuh sempurna
ketika kita tidak menjaga hati yang menjadi rumahnya.
“Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah, niscaya Dia akan memberi
petunjuk
kepada hatinya.” (QS. At Taghabuun [64] : 11)
Yap.
Begitulah iman.
Ketika
cinta memilih tanpa landasan iman di dalamnya, maka kebahagiaan sejati bukanlah
akhirnya. Hati tak menjadi lapang karenanya. Hidup pun tak menjadi senang
akibatnya.
Ketika
cinta memilih dengan landasan iman di dalamnya, maka mencintai Allah dan
Rasulnya menjadi kewajiban baginya. Mencintai karena Allah merupakan suatu
kebiasaan dalam dirinya.
Nah, pada akhirnya cinta memang
harus memilih. Tentu setiap pilihan selalu berbuah risiko. Berawal dari cinta.
Berjalan seirama pada pilihan jalan hidup. Berujung dengan akhir yang
menentukan. Jalan surga, dihampari kesulitan yang membuat lelah, gerah dan
susah, namun berakhir bahagia. Jalan neraka dihiasi keindahan syahwat,
kenikmatan pangkat, keindahan popularitas, tidak perlu susah payah. Tinggal
mengikuti arus, ikut terus menerus hingga muaranya.
Sahabat fillah, setiap pilihan kembali kepada kita masing – masing. Kepada setiap pilihan, ketahuilah, yakinilah, kemudian tetapkanlah. :)
Komentar
Posting Komentar