Langsung ke konten utama

Bendera Perjuangan


Wahai jiwa segeralah turun ke sini
Turunlah atau engkau akan dibenci
Biarkan mereka berteriak dan menghiba
Mengapa kulihat engkau tidak suka surga

Yang memegang bendera saat itu adalah Zaid bin Haritsah, kekasih Rasulullah saw. Dia bertempur dengan gagah berani dan heroik.  Terus menerus bertempur tiada henti. Hampir tak ada seorang pahlawan Islam pun yang mampu menandingi. Sampai seujung tombak musuh harus menghujam diri dan akhirnya langkahnya pun terhenti. Terjerembab. Tergeletak mati.
Bendera jatuh.

Tapi lantas diambil oleh Ja’far bin Abu Thalib. Bertempur gagah berani. Meskipun harus terlempar dari kudanya, tak membuatnya berhenti. Terus bertempur dan terus menerus.  Sampai  tangan kanannya harus terputus. Semangat yang kian berkobar tak membuatnya lemah. Bendera itu dialihkan ke tangan kiri. Kembali bertempur. Terus bertempur dan terus menerus. Sampai tangan kirinya pun juga harus terputus. Tak mau gagal berkibar, bendera itu dia lilitkan di lengan bagian atas yang masih tersisa dan terus mengibarkan bendera. Hingga gugur, tubuh tertebas pedang musuh. Itulah yang menjadi pilihannya.

Kembali bendera jatuh.

Tapi tak lama, Abdullah bin Rawahah mengambilnya. Memacu kudanya ke depan. Meski ragu sesaat, ia mantapkan pilihannya. Ia turun mengambil pedang dan maju ke tengah pertempuran. Terus bertempur hingga akhirnya pun gugur di medan.


 Itu adalah sekelumit kisah perjuangan para syuhada yang rela mengorbankan harta benda mereka, bahkan jiwa mereka demi menegakkan kalimat tauhid ini. 

Tidakkah kau tahu? 
Mereka yang berguguran tidaklah bersedih hati.

Tidakkah kau tahu?
Mereka yang berguguran telah menemukan kebahagiaan sejati. 

Mereka telah memantapkan hati. Meski tahu luka tombak dan goresan pedang akan menghiasi diri. Meski tahu nyawa menjadi risikonya. Tetapi mereka telah memantapkan hati. Tidak peduli harus bercucuran keringat dan darah sekalipun. Tidak peduli kehilangan suatu apapun. Mereka telah memilih. Berharap demi tegaknya agama ini.

Wahai Saudaraku, tidakkah engaku iri? Kepada mereka yang telah menemukan kemuliaan sejati. Tidaklah terhenti perjuangan ini. Layaknya bendera perang yang jatuh dan berdiri. Berpindah tangan. Lalu jatuh dan berdiri kembali. Dan akan berpindah tangan kembali. Maka seperti itulah perjuangan ini. Tidak akan terhenti sampai hari akhir nanti. Ingat! Dengan atau tanpa kita, kejayaan agama ini pasti akan kembali.

Wahai Saudaraku, kita lah penerus perjuangan ini. Kita yang akan memikul beban ini. Kita yang akan mengambil bendera itu kembali. Lantas, mengibarkannya di muka bumi ini. Tentu syarat akan pengorbanan. Waktu yang tebuang, biarlah menjadi waktu kita di surga nanti. Keringat yang bercucuran, biarlah terbayar dengan seteguk air yang manisnya lebih dari madu dan putihnya lebih dari susu. Biarlah kelelahan ini terbayar dengan dipan – dipan suci, tempat kita tidur nanti. Maka biarlah segalanya yang akan dan telah tercurahkan demi tegaknya agama ini, menjadi kebahagiaan sejati, bertemu dengan Allah nanti. :)
 
 وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki (QS. 3:169)

Salam Dakwah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...