Langsung ke konten utama

Kereta Kemenangan

Namanya “Kereta Kemenangan”. Kereta ini ada sejak peradaban manusia dimulai di atas bumi ini. Pun akan berjalan selama peradaban manusia masih ada. Dari sekian manusia yang ada di muka bumi ini, sepertinya tidak semua berkeinginan untuk menaiki kereta tersebut. Kesempatan sepertinya sudah diberikan. Hanya saja, mereka yang  memutuskan untuk enggan menaikinya. Kereta ini memang tidak seperti kereta yang lainnya. Penampilannya mungkin tidak mewah. Tidak berhiaskan berlian emas atau berdinding perak.  Sederhana. Kereta ini memiliki kesamaan dengan kereta yang lain. Memiliki asal mula pemberangkatan dan tempat tujuan. Menurut kabar, kereta ini memiliki perjalanan yang begitu panjang dan begitu sulit medan perjalanannya. Tetapi siapa mengira, bahwa di antara kereta lainnya, kereta inilah yang tepat. Kenapa? Karena namanya kereta kemenangan. Itu yang dikabarkan kepada kita. Kereta ini berisikan mereka para Rasul, para Nabi, para sahabat, dan para mukminin. Pemilik kereta tentu ialah Yang Menciptakan, yakni Allah swt.
***
Aku melihat kereta kemenangan itu tiba. Tepat di stasiun perjalanan hidupku saat ini. Ternyata untuk memasukinya tidaklah begitu mudah. Masih di tempatku berdiri, segala bisikan terdengar di telinga. Bisikan yang selalu bersifat mempertanyakan. “Apakah ini?”  Menurut kabar, kereta tersebut bertujukan suatu tempat yang begitu indah. Iya, karena itulah ia dinamankan kereta kemenangan. Jarak tujuan tersebut tidak terangkakan. Sepertinya jauh. Gerbongnya pun panjang. Tapi tetap tidak sepanjang gerbong kereta yang lainnya. Menengok ke bagian dalam kereta, aku melihat manusia-manusia yang berwajah rupawan, muka mereka berseri-seri. Nuansa ketentraman nan harmonis tampak di ruang setiap gerbongnya. Aku yang melamun membayangkan, tersadar dengan seseorang yang memanggilku dari gerbong tersebut. Ia tersenyum melihatku. Kemudian mengatakan, “Mari, naik Saudaraku. Mari meraih kemenangan”. Tangannya menjulur, mencoba meraih tanganku. Inilah kesempatannya, begitu batinku berbicara. Aku pun tersenyum. Lantas menyambut tangannya. Aku berharap, bahwa Sang Pemilik Kereta, mengizinkan aku untuk menaikinya, bersama-sama dengan mereka, sampai dengan tujuan.
***
Di dalam kereta, aku melihat mereka saling berlomba. Berlomba untuk suatu hal yang dinamakannya dengan “pahala”. Di gerbong kereta, mereka saling berlomba. Tidak menyisakan ruang untuk suatu kejahatan dan perbuatan kotor. Mereka sebut itu dengan “dosa”. Aku merasa malu dengan diriku sendiri. Gerbong paling belakang mungkin masih menjadi tempat yang tepat untuk seseorang yang mungkin masih asing dengan apa yang mereka istilahkan; “pahala” dan “dosa”, seperti diriku. Tapi asiknya, mereka yang di dalam gerbong, menyatakan bersedia membantuku. Mereka menyambut kedatanganku.  Aku pun merasakan nuansa ketentraman yang menyeliput. Membuat betah tinggal di dalamnya. Aku pun selalu berharap bahwa Sang Pemilik Kereta, tetap mengizinkan aku berada di barisan gerbong tersebut.


Kereta pun melaju. Melaju dengan pasti. Sedemikian kencangnya. 


“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. 9:100)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harga Sebuah Senyuman

Selalu ada hal-hal kecil yang begitu berharga, namun tak ternilai dengan harta. *** Senyuman itu tak berbiaya. Tetapi manfaatnya luar biasa. Memperkaya yang menerima. Tak memiskikankan pemberinya. Saat ini, jadilah aku pekerja, mencari cara untuk meminta senyuman berharga. Teristimewa dari orang-orang sekitar. Menghapus lara serta duka yang melingkar. Menyingkirkan kusut yang memberingsut. Sirna lelah karena masalah. Favorit! Hal itu akan menjadi pekerjaan kesukaanku nantinya. Bagaimana berupaya untuk membuatnya tersenyum. Lepas. Bahagia. Cantik. Orang bilang sebagai senyuman, senyuman yang begitu menenangkan. Memberikan kehangatan meski lisan tak terucapkan. Kelak nanti dalam sejarah cerita, senyuman itu akan selalu mengingatkan, bahwa di baliknya ada perjuangan berharga yang tidak ternilaikan, ada perasaan suci yang berusaha dijaga murni, sebaik-baiknya, selama-lamanya. Senyuman itu. Kelak, harus kujaga. Setiap terangnya hingga gelapnya. Bangunnya dan juga tidu

Segenap Kekurangan

Captured April 6, 2021 Menjalani kehidupan di jenjang yang berbeda membutuhkan penyesuaian. Dalam segala hal. Terlebih bagi seorang pasangan suami istri yang menjalani kehidupan 24 jam Bersama. Seperti halnya pasangan yang lain, sudah tentu masing-masing dari kami memiliki banyak kekurangan. Satu hal yang kupercaya, bahwa Allah SWT. mempertemukan kedua insan dalam bahtera rumah tangga, pasti keduanya dipertemukan untuk saling melengkapi kekurangan-kekurangan itu. Sampai detik ini, dengan segala kekuranganku yang terjaga dengan kelebihan istriku, aku berjanji untuk selalu mencoba menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menjadi seorang imam yang baik, seorang sahabat yang peduli, seorang teman yang baik bagi dirinya. Aku berjanji… Ah iya.. foto itu diambil saat piknik di Glamping Jogja. Dengan 2 buah sepeda lipat yang sudah jarang terpakai… :p Mudah-mudahan bisa terpakai lagi dengan latar foto yang berbeda 😊

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk