Langsung ke konten utama

Rute yang Tepat

Adakah di antara kita ada yang mengetahui pasti masa depan masing-masing?
Aku mulai dari pertanyaan itu. Pertanyaan itu muncul setelah saya berbincang-bincang dengan seseorang yang kalau boleh saya bilang, begitu gigih memerjuangkan hidupnya. Bukan berasal dari keluarga yang mampu. Sehingga ia harus bertempur ‘sendiri’ melawan kerasnya dunia ini. Saya tahu beliau melakukan banyak pekerjaan agar dapat mencukupi kebutuhan hidup dirinya. Banyak pekerjaan. Mulai dari mengumpulkan barang-barang plastik sampai dengan berjualan baju batik. Salah satu hal yang saya dapat dari perbincangan itu, beliau mengatakan, “apapun pekerjaannya selama itu tidak dilarang dalam agama dan negara, yaudah saya lakoni saja”. Saya sendiri mengambil banyak pelajaran dari beliau.
Oke, kembali ke pertanyaan awal tadi. Saya pikir, kita sudah tahu jawabannya. Tentu tidak. Tidak ada orang yang tahu pasti bagaimana masa depannya. Tidak ada yang tahu pasti akan menjadi apa dirinya sepuluh tahun mendatang. Bahkan, dalam lingkup yang sempit lagi, seseorang tidak tahu pasti apa yang akan terjadi pada dirinya esok hari. Seorang manusia hanya bisa merencakan.
Sebuah perumpamaan tentang hal itu adalah seorang yang mengendarai mobil menuju tempat tujuannya. Kita ambil contoh seseorang yang ingin pergi ke sekolah dengan mengendarai mobil dari rumah. Orang tersebut keluar rumah kemudian masuk ke dalam mobil yang terparkir di jalan depan rumahnya. Pertanyaannya, apakah seseorang itu ketika berada di mobil sudah dapat melihat sekolah itu di ujung jalannya? Tentu tidak. Mobil tersebut harus berjalan terlebih dahulu melalui rutenya sehingga pada akhirnya di ujung jalan yang ia lalui, terlihatlah sekolah tersebut.
Kita tidak pernah tahu masa depan kita akan seperti apa. Dalam kacamata kita sebagai muslim, Allah SWT. sudah berjanji melalaui firmannya :

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An Nahl : 97)

 Sebuah janji yang pasti, tidak akan tidak. Itu artinya, dalam pemahaman saya, ketika kita ingin memiliki kehidupan yang baik, maka yang perlu kita lakukan adalah beriman kepada Allah SWT, kemudian mengerjakan amal saleh. Tidak perlu kita berangan-angan jauh melampui hari ini. Justru lihatlah sekarang, lihatlah hari ini, kita punya kewajiban sholat lima waktu. Apakah sudah berjalan baik? Lihatlah, kita punya kesempatan untuk melaksanakan sholat rawatib, maukah kita melaksanakan? Begitu pula dengan amal-amal saleh yang lainnya, shalat dhuha, tahajud dan lain-lain. Kalau kita punya kesempatan itu, yaudah lakoni saja. Percayalah di masa depan nanti janji Allah itu akan terbukti. 


  Maka, di saat kita berkendara, kita memang belum dapat melihat tujuan tempat kita saat itu. Yang perlu kita pastikan adalah kita berjalan di rute yang tepat. Hingga akhirnya tujuan itu pun akan terlihat jelas pada waktunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...