Langsung ke konten utama

Aku Mengenalnya

Aku cukup mengenalnya.
Sebagai pribadi utuh di usianya. Sesosok manusia dengan penuh keinginan. Masih teringat, manakala dalam usia mudanya dulu, apabila sore hari menjelang, ia bergegas keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya. Tidak cukup hanya bersepeda. Bermain sepak bola, petak umpet, dan berpetualang ternyata menjadi bagian dari kesukaannya saat kecil. Sesampainya di rumah, dengan wajah dan tubuh yang penuh keringat,ia disambut oleh bundanya. Raut wajah cerianya yang begitu menggemaskan nyatanya dapat membuat sang bunda tersenyum lebar.

Aku cukup mengenalnya.
Menginjak hari pertamanya masuk bangku sekolah, ia begitu bersemangat. Mandi pagi. Sarapan. Kemudian lekas berangkat. Berseragam rapi dengan sepatu hitamnya, ia dibonceng sang bunda ke sekolah, bersama adik dan juga kakaknya. Sesampainya di depan gerbang sekolah, kecup tangan sang bunda menjadi pelipat semangatnya bersekolah. Lantas ia segera berlari sekencang-kencangnya masuk ke dalam halaman sekolahnya. Sepertinya ia lupa untuk melihat ke belakang. Mungkin di saat itu, sang bunda sedang tersenyum lebar karena tingkah laku buah hatinya.

Aku cukup mengenalnya.
Masa-masa SMP. Masa-masa SMA. Kemudian tiba masanya perguruan tinggi baginya. Di usianya yang terbilang remaja saat ini, banyak sekali perubahan dalam dirinya. Sang bunda tentu sudah paham akan ini. Dalam hati ia mungkin berkata, “ah, tidak terasa anakku sudah tumbuh besar seperti sekarang, betapa cepatnya waktu berjalan…” Berpisah kota dari sang bunda, menjadi takdir baginya. Sang bunda pun memahami. Selalu diingat pesan dari bundanya, “Nak, belajarlah yang baik. Bunda ingin kamu jadi orang yang pintar, shaleh, jadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Nanti kalau sudah jadi orang besar, jangan lupa sama bunda dan ayah ya Nak…”

Aku cukup mengenalnya.
Sampai detik ini, ia terus berjuang. Untuk kemudian membahagiakan kedua orangtuanya. Membuat sang bunda tersenyum lebar seperti dulu. Pasang surut ia jalani. Manis pahit ia rasakan. Tetapi ia berusaha untuk tetap berdiri. Berlari sekencang-kencangnya.  Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Hanya saja, ia terus berusaha. Dan juga, selalu bersandar kepada Yang Maha Kuat.

Aku cukup mengenalnya.
Sangat mengenalnya. Dan sudah memang begitu seharusnya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...