Langsung ke konten utama

Bapak Ibu

Detik demi detik berlalu. Hari demi hari silih berganti. Begitu pula tahun demi tahun bergulir. Sebuah bingkai usang tampaknya telah menjadi saksi mati  tentang berjalannya waktu. Warna bingkainya merah, hanya saja sedikit pudar, entah mengapa, mungkin karena tebalnya debu yang menutupinya. Begitu pula dengan kacanya. Butuh sedikit waktu memang untuk membuatnya kembali tampak lebih baik, sekedar air dan tisu ternyata berhasil menyulapnya. Kini bingkainya telah tampak mempesona, pun dengan foto di dalamnya.

Lihatlah!
Foto itu tampak menyiratkan sebuah kegembiraan. Senyumannya. Kepolosannya. Ahh… bahkan seketika tubuh ini merasakan kehangatan yang nyata. Keluarga kecil nan sederhana. Bocah kecil, seperti sedang memandang aneh kamera. Ia berdiri di depan seorang wanita cantik. Bersama, seorang anak kecil perempuan yang terlihat tersenyum. Di belakang perempuan itu, berdiri sesosok pria gagah nan tampan. Keduatangannya memegang pundak anak perempuan itu. Foto itu.. tidak ingat persis kapan diambil. Mungkin sekitar tahun 1997. Iya, sepertinya begitu, melihat bocah itu yang mungkin sedang berumur 3 tahun-an. Momen – momen seperti itu memang perlu untuk diabadikan, dan foto ternyata berhasil menjadi perekam sejarah dari keluarga itu. Tunggu dulu… Apa itu…. Seperti ada yang berbeda dengan foto itu. Ahh, aku malu. Bagaimana mungkin bisa terlupa. Hal penting seperti itu. Bagaimana terlupa… Iya, guratan – guratan wajah itu memang kini tidaklah lagi sama, lihatlah. 17 tahun memang bisa merubah semua, termasuk guratan itu. Wajah perempuan itu…pria itu… Tak lagi kutemukan seperti itu.

Ibu…
Waktu ternyata benar-benar berjalan ya bu? Benar tidak terasa. Rasanya ingatan ini masih begitu jelas dekatnya, bahwa saat itu Ibu masih meggendongku. Ibu menurunkan aku, sepertinya Ibu sedang lelah saat itu. Tapi, karena ketidaktahuanku, justru aku merengek. Ahh, maafkan aku bu, saat itu aku bodoh bu, aku tidak tahu. Tapi Ibu lantas membalas dengan senyum, kemudian kembali menggendongku.

Bapak…
Sudah jauh ya pak? Benar tidak terasa, berapa jauh kaki ini melangkah hingga saat ini melanjut di dunia perkuliahan. Tanpa tahu, berapa langkah yang justru mengecewakan Bapak. Ahh, maafkan ya Pak. Selalu saja ketidaktahuan ini yang menjadi masalah. Sepertinya terlalu banyak tingkah yang membuatmu marah atas perintahmu itu, tanpa tahu bahwa itu adalah demi kebaikan, untuk mendewasakan.

Dua puluh tahun, rasanya sangat jauh dari baik untuk membalas balas jasa kedua orang tua.
Bagaimana mungkin hal seperti ini terlupa.
Waktu ini memang benar – benar berjalan.
Dan waktu memang merubah semua.

Terlalu naif rasanya untuk tidak menyadari, bahwa niscaya akan ada sebuah perpisahan. Bapak, Ibu… Kita tahu, kelak nanti, kita akan berpisah. Bukan hati kita, melainkan begitulah yang ditetapkan Allah. Raga kita suatu saat akan berpisah. Pelajaran hidup itu pula kan yang engkau ajarkan kepada anak-anakmu ini. Tidak ada manusia yang kekal, melainkan akan kembali kepada Sang Pencipta.
Bapak Ibu.. Ketika Allah kelak memanggilmu kembali. Aku tahu. Bahwa Allah sangat menyanyangi kalian berdua. Tidak banyak yang bisa saya lakukan Pak, Bu. Hanya untaian doa ini yang bisa saya panjatkan kepada Allah, agar senantiasa memuliakanmu. Memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak. Kita tidak pernah tahu Bapak, Ibu…. Bagaimana masa depan akan membawa kita. Satu hal yang saya tahu, bahwa hati ini benar-benar mencintaimu. Dan selama raga kita masih bertemu, aku berusaha membahagiakanmu.


Anakmu yang ingin membahagiakanmu (selalu)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...