Langsung ke konten utama

Hujan.



Hujan. Rintik air. Gemericik. Guntur. Awan.

Aku suka dengan hujan. Bagiku, hujan itu menyimpan keindahan.
Kita berbicara tentang hujan. Tentang sesuatu yang semenjak dulunya membasahi bumi. Kita berbicara tentang sesuatu yang menjadi saksi bisu bumi ini. Entah sudah berapa kali aku melihat hujan. Entah berapa lama waktu yang aku habiskan dengan hujan.
Hujan dulu. Hujan saat ini. Samakah?

Bagiku, hujan itu menyimpan keindahan.
Aku terheran, bagaimana bisa ketika hujan datang, justru orang kecewa dan menyalahkan hujan. Mana yang salah? Apakah salah ketika tanah yang kering ini menginginkan hujan? Apakah salah ketika pepohonan yang dimakan layu ini meminta hujan? Salahkan ketika hewan-hewan di daratan meneguk air hujan untuk membasahi mulutnya?

Janganlah seperti itu. Jangan kita berpikiran sempit.
Padahal dengan hujanlah, bumi ini tumbuh. Kita saja yang tidak tahu.
Saat hujan, pepohonan dan rumput ilalang menyambut gembira, memanjangkan akar-akarnya sehingga dapat tumbuhlah batang, ranting, bunga dan buahnya.
Tahukah kamu?
Saat hujan tiba, induk ayam mencarikan anak-anak ayamnya tempat perlindungan.
Saat hujan tiba, burung-burung mengistirahatkan sayapnya, menghabiskan waktunya bersama keluarganya.

Dan selalu bagiku, hujan itu menyimpan keindahan.
Saat hujan, seorang ibu mendekap hangat anak mungilnya, menyingkapkan selimut pada tubuhnya, takut kedinginan membuat sakit buah hatinya. Saat hujan tiba, seorang kakak berjalan memayungi adik kecilnya, sembari memegang tangannya, menuntun melewati kubangan air yang ada, takut becek mengotori celana adiknya. Bahkan, saat hujan tiba, seorang bapak berdiri di persimpangan jalan, mencari uang dengan menawarkan jasa payung, demi menghidupi istri dan anaknya. Uang yang diperolehnya hanya saat hujan tiba. Salahkah?
Pernahkah kita coba bayangkan bagaimana dunia ini tanpa hujan? Maka, saat hujan tiba, jangan kamu menyalahkannnya. Karena kita tahu, begitulah cara Allah membagi-bagikan rezeki kepada makhluk-Nya…

Dan kepadamu yang aku tak tahu dimana…
Saat ini aku sedang melihat hujan dengan simfoninya. Rintik air. Gemericik. Guntur. Dan awan.
Mencoba memikirkan akan kebesaran-Nya.
Kita yang masih terahasiakan dimensi ruang dan waktu untuk bertemu. Bersapa dalam takdirNya. Membangun singgasana cinta dariNya.
Dan saat hujan… apakah kita melihat hujan yang sama?
Hujanku. Hujanmu.
Samakah?

Bagiku hujan itu selalu indah. Karunia Tuhan Yang Maha Indah :)


“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki  untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 22)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...