Langsung ke konten utama

Sadar (kah) ?



Pernah merasa berutang budi kepada seseorang?
Pernah merasa mendapatkan pertolongan dari seseorang di saat genting?  Sehingga kamu merasa bahwa kamu memiliki utang budi kepadanya?
Mungkin kamu pernah merasakannya.

Dalam sebuah usaha kerasmu, kamu terhenti karena suatu hal. Kamu merasa khawatir dengan hal itu. Kamu merasa tidak ada yang bisa dan mau membantu. Hampir saja kamu berputus asa. Hingga tiba suatu saat, ada seseorang yang tidak kamu duga sama sekali, menawarkan sebuah pertolongan. Kamu merasa terbantu sekali dengannya. Dan setelah itu kamu merasa berutang budi kepadanya. Sehingga, tanpa dia meminta pertolongan pun, bisa-bisa kamu menawarkan berbagai hal yang kamu punya.
Sejatinya, ada lagi ‘kepada’ siapa kita harusnya merasa ‘berutang budi’. Atas segala yang kita miliki saat ini. Sebuah Dzat yang sangat mempengaruhi kehidupan kita, hanya saja sering kali kita tidak (mau) menyadarinya. Di saat usaha keras kita, Dia mungkin ‘tersenyum’ melihat usaha kita. Dan di saat kita hampir saja berputus asa, Dia menghadirkan sosok-sosok pilihan terbaik untuk masuk ke dalam hidup kita. Ketika itu pula, Dia ‘tersenyum’. Siapa Dia? Yaitu Allah, Sang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Penolong. Segala kemudahan itu datangnya dariNya. Percayalah. Percayalah.
Bahkan di saat, kamu merasa benar-benar merasa berputus asa, maka kembalilah kepada Allah. Karena Allah lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Saat manusia yang lain tidak bisa menghadirkan sebuah jawaban, tapi Allah bisa. Saat manusia yang lain justru sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa memperdulikan kita, tapi Allah peduli kepada hambaNya. Maka, kepada siapa lagi seharusnya kita berserah diri kecuali kepadaNya?  Think about it. :)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Rasa

Ada hal yang berbeda. Tak biasa. Saat itu juga, bermula perjalanan rasa. Siapa yang mengira, dengan mengenalmu, mampu memunculkan rasa. Mungkin suka. Jika dengan itu, jelas mengapa jantung terpacu saat bertemu. Mungkin juga cinta. Jika dengannya, menjadi alasan untuk berani berkorban. Ataukah semata nafsu? Hanya memberi belenggu, sementara waktu. Namun, bagaimana bisa hati ini rindu? Bahkan untuk sekian waktu. Sebut sajalah, karena dirimu. Tempat berangkat rasa yang mengikat. *** Karena dirimu, bagiku adalah perlawanan. Mengatakan mungkin akan mengacaukan keadaan. Tak ada pilihan, kecuali memendam perasaan. Membiarkannya mengalir bak air gunung yang menghilir. Laut jadi tujuan, kemarau menjadi ancaman. Karena dirimu, bagiku adalah persiapan. Tak bisa asal-asalan. Karena aku tahu, Ayahmu butuh dasar untuk mengiyakan. Dan Ibumu butuh akhlak jernih nan murni untuk merestui. Persoalan ini tidak mudah. Melelahkan, tapi bukankah putri kerajaan ditakdirkan unt...

Harapan dan Penyesalan

Rasanya aku sudah terlalu akrab dengan apa yang kita sebut sebagai "penyesalan". Sampai-sampai aku sudah tidak bisa lagi memunculkan harapan, hanya karena takut menyesal. Iya. Harapan. Sebelumnya aku berpikir, bahwa sumber dari penyesalan adalah harapan. Maka kalau tidak mau menyesal ya jangan berharap. Sampai akhirnya, aku baru menyadari. Bahwa tidak berharap, justru membuatku tetap menyesal pada akhirnya. Bahkan penyesalannya lebih besar. Bagaimana bisa? Aku coba kenali kembali seluruh skenario penyesalan yang pernah terjadi di dalam hidupku sampai detik ini. Skenario terbanyak mungkin seperti ini : ketika aku menginginkan suatu hal, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan sedikit pun usaha untuk itu. Seknario lain : ketika aku memiliki keinginan, kemudian aku melakukan, tapi nyatanya apa yang aku lakukan adalah salah atau kurang tepat. Sehingga hasil yang aku peroleh tak sesuai dengan harapan. Dua skenario penyesalan tersebut yang aku rasa ada dalam kehi...

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk...