Langsung ke konten utama

Titik Hitam


                                                                                                                                                                                                    19/6/2020

            Hidup di dunia ini, selama 26 tahun sampai dengan detik ini. Hampir saya tidak bisa mengingat-ingat jelas pasti, kapankah saya benar-benar merasakan kenikmatan dalam beribadah. Berbeda halnya dengan perihal dunia. Mudah sekali bagi saya untuk mengingat jelas kapan saya menikmatinya. Dalam hati saya gusar, mengapa demikian. Bahkan sudah sekian lamanya bertahun-tahun lamanya…
           
            Terdengar sebuah nasihat saat saya biasa “scroll” dunia maya, secara tidak sengaja, terputar video singkat tentang keimanan. Beliau yang berpeci, dalam video tersebut mengatakan tentang semangat dalam beribadah. Dalil-dalilnya sedikit demi sedikit diuraikan. Sejujurnya dalil tersebut tidaklah asing bagi saya. Saya sudah pernah mendengeranya. Hanya saja, saat mendengar kembali, saya kembali teringat dan tertegun.

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. bersabda :
Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka"

Bukan asing kan dalil tersebut? Maka mungkin benar memang, perkara agama, keimanan dalam hati, pentingnya untuk menjaganya dengan saling menasihati, meskipun dengan sedikitnya ilmu yang kita tahu. “Sampaikan walau satu ayat”, senada dengan kalimat tersebut. Mungkin saja, apa yang sudah kita tahu itu sebelumnya, tapi di saat-saat tertentu saat orang lain yang kembali mengatakannya kepada kita, justru kalimat itu berdampak besar kepada kita. Seperti halnya diri saya saat ini.

Titik hitam titik hitam. Kalau saja kita bisa melihat dengan kasat mata kita, bagaimana kondisi hati kita yang tertitik hitam, satu demi satu, mungkin hati saya akan tampak hitam sekali. Hati yang kotor. Sehingga cahaya keimanan tidak muncul. Lantas bagaimana bisa untuk menikmati beribadah?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Hope

Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap Pernah mendengar suatu kisah tentang empat lilin? Mungkin kisah ini udah familiar sekali. Dalam suatu ruangan sunyi, ada empat buah lilin yang menyala, namun perlahan, sedikit demi sedikit habis meleleh. Karena begitu sunyinya, terdengarlah percakapan antara mereka. Lilin yang pertama berkata “Aku adalah DAMAI.” “Namun manusia tak lagi mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan saja diriku..”. Demikian, sedikit demi sedikit sang lilin pun padam. Tersisalah tiga lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang kedua, “Aku adalah IMAN.” “Namun sayang, manusia tak mau mengenaliku.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Tersisalah dua lilin yang masih menyala. Kemudian berkatalah lilin yang ketiga, “Aku adalah CINTA.” “Tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapk

Tanam dan Tuai

Apa yang kamu tanam, itulah yang kamu tuai.                           Pepatah tua telah mengajarkan kita akan pelajaran kehidupan.   Ibaratnya seorang petani yang menanam padi, tentu akan menuai padi pada akhirnya. Tidak mungkin menuai mangga, jambu ataupun yang lain. Kebaikan dan keburukan pun berlaku seperti itu.             Seorang pernah berujar, bahwa dunia ini tidak adil. Mengapa? Ia mengatakan, orang-orang baik, yang memiliki akhlak yang bagus, mulia dan terpuji justru tidak merasakan kebaikan yang ditanamnya. Ia berpandangan begitu dengan melihat orang-orang miskin di sekitarnya. Lantas dibandingkan dengan orang-orang kaya raya, justru merasakan kebaikan dunia ini dengan kemewahannya, padahal mereka sendiri memiliki akhlak yang buruk, eogis, lupa sholat, dan lainnya. Lalu? Bagaimana dengan konsep tanam dan tuai?             Sejenak kita mengingat kepada apa yang disampaikan oleh pemilik dunia ini dan seisinya. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat

Harga Sebuah Senyuman

Selalu ada hal-hal kecil yang begitu berharga, namun tak ternilai dengan harta. *** Senyuman itu tak berbiaya. Tetapi manfaatnya luar biasa. Memperkaya yang menerima. Tak memiskikankan pemberinya. Saat ini, jadilah aku pekerja, mencari cara untuk meminta senyuman berharga. Teristimewa dari orang-orang sekitar. Menghapus lara serta duka yang melingkar. Menyingkirkan kusut yang memberingsut. Sirna lelah karena masalah. Favorit! Hal itu akan menjadi pekerjaan kesukaanku nantinya. Bagaimana berupaya untuk membuatnya tersenyum. Lepas. Bahagia. Cantik. Orang bilang sebagai senyuman, senyuman yang begitu menenangkan. Memberikan kehangatan meski lisan tak terucapkan. Kelak nanti dalam sejarah cerita, senyuman itu akan selalu mengingatkan, bahwa di baliknya ada perjuangan berharga yang tidak ternilaikan, ada perasaan suci yang berusaha dijaga murni, sebaik-baiknya, selama-lamanya. Senyuman itu. Kelak, harus kujaga. Setiap terangnya hingga gelapnya. Bangunnya dan juga tidu